Intisari-Online.com - Kenaikan harga BBM membuat resah masyarakat Indonesia yang merasakan dampak dari kebijakan ini.
Diketahui kenaikan harga BBM berlaku sejak Sabtu (3/9/2022) lalu.
Harga Pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10 ribu per liter.
Kemudian, harga BBM Solar bersubsidi juga naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter.
Sementara itu, Pertamax non-subsidi dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
Terkait kenaikan harga BBM tersebut, Jokowi mengungkapkan salah satu alasannya yaitu karena BBM bersubsidi dinilai justru dinikmati kelompok masyarakat mampu.
"Dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi," kata Jokowi dalam konferensi pers yang ditayangkan YouTube Sekretariat Presiden, Sabtu (3/9/2022).
Selain itu, kenaikan BBM juga disebut menjadi langkah pemerintah menghadapi gejolak minyak dunia.
Bagaimana kekayaan sumber daya alam Indonesia, dalam hal ini cadangan minyak dan gasnya, selama ini kerap menjadi sorotan ketika terjadi kenaikan harga BBM.
Kondisi Indonesia dipandang miris karena meski dikenal sebagai negara penghasil minyak, tetapi harga BBM tetap mahal bahkan harus melakukan impor.
Siapa yang menguasai migas di Indonesia pun dipertanyakan, bahkan disebut-sebut perusahaan asinglah yang menguasai migas Indonesia.
Pertanyaan itu tak mengherankan, pasalnya memang ada sejumlah perusahaan migas asing besar yang ada di Indonesia.
Setidaknya ada 5 perusahaan besar asing yang sempat turut mengeluarkan sumber daya alam Indonesia yang tak terbarukan tersbut.
Salah satu perusahaan itu adalah perusahaan asal Amerika Serikat, Chevron. Perusahaan ini memproduksi minyak paling banyak di Indonesia melalui anak usahanya yaitu Chevron Pacific Indonesia.
Kemudian ada perusahaan asal Prancis, Total, yang menguasai operasi blok Mahakam di Kalimantan Timur dengan anak usahanya yaitu Total E&P Indonesie.
Lainnya adalah perusahaan asal Inggris British Petroleum, yang menguasai 37,16 persen saham di proyek Tangguh yang merupakan lapangan gas sekaligus kilang LNG.
Juga ConocoPhillips dan ExxonMobil yang keduanya merupakan perusahaan asal Amerika Serikat.
Terkait apakah migas Indonesia dikuasai asing, sempat ditanggapi oleh ekonom Faisal Basri pada 2016 lalu.
Saat itu viral peta bergambar bendera negara-negara asing, yang dalam keterangannya disebut bendera tersebut mewakili lokasi anjungan dan atau kilang minyak dan gas Indonesia.
Melansir Kompas.com, menanggapi hal tersebut, Faisal Basri mengatakan bahwa gambar itu hanyalah 'rumor'.
Ia menjelaskan bahwa perusahaan minyak paling besar di Indonesia dan perusahaan pemilik sumur migas paling banyak adalah perusahaan nasional milik negara.
Bukan hanya itu saja, ia pun menjelaskan bagaimana skema pengelolaan lapangan migas di Indonesia saat itu.
Dikatakannya bahwa sektor hulu migas di Indonesia punya skema kontrak yang spesifik, baik untuk proses pencarian cadangan (eksplorasi) maupun saat pengambilan (eksploitasi).
Prinsip dasar untuk kontrak migas yang berlaku di Indonesia adalah bagi hasil atau bahasa teknisnya adalah production cost sharing (PSC).
Kontrak tersebut merupakan kerja sama antara Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS).
Dalam hal ini, Pemerintah diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Faisal menjelaskan, negara-negara yang menggarap sumur migas di Indonesia tak serta merta menguasai atau memiliki lapangan migas tersebut.
Sistem PSC membuat negara sebagai pemilik sumber daya dan kontraktor sebagai penggarap, sedangkan modal atau investasi disediakan kontraktor.
Kemudian, pengembalian biaya investasi diambilkan dari hasil produksi (cost recovery), dan pengeluaran untuk investasi disepakati kedua belah pihak.
Sementara itu, risiko investasi di masa eksplorasi ditanggung kontraktor, dan jika invetasi bersifat dry hole atau tidak ada cadangan yang ekonomis, maka tidak ada pengembalian biaya investasi karena tidak ada produksi yang dihasilkan.
Pada skema cost recovery, sumber daya migas tetap menjadi milik negara sampai pada titik serah.
Selama sumber daya migas masih berada dalam wilayah kerja pertambangan atau belum lepas dari titik penjualan yaitu titik penyerahan barang, maka sumber daya alam migas tersebut masih menjadi milik pemerintah Indonesia.
Merujuk buku Ekonomi Migas, Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas karya Benny Lubiantara, jangka waktu kontrak adalah 30 tahun. Catatannya, enam tahun pertama kontrak dialokasikan untuk eksplorasi. Bila sampai enam tahun Kontraktor KKS tidak menemukan sumber cadangan baru migas atau belum berproduksi, kontrak akan otomatis hangus.
Bila Kontraktor KKS menemukan sumber cadangan baru migas yang bernilai ekonomis dan kemudian berproduksi, semua biaya eksplorasi akan diganti oleh Pemerintah. Penggantian biaya eksplorasi inilah yang dikenal sebagai cost recovery.
Ketika telah berproduksi, nilai jual hasil produksi dikurangi dulu dengan biaya-biaya yang diganti lewat skema cost recovery, baru kemudian dibagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor KKS. Persentasenya, 85 persen untuk Pemerintah dan selebihnya untuk kontraktor tersebut.
Perdebatan muncul dari penentuan porsi negara dibandingkan kontraktor menggunakan skema cost recovery, dan setiap tahunnya tren cost recovery meningkat, seperti pada 2010 cost recovery sekitar USD 11,7 miliar meningkat menjadi USD 16,2 miliar tahun 2014.
Kebijakan capping cost recovery tahun 2017-lah yang megubah penerimaan migas bagian pemerintah naik sebesar USD 12,7 miliar.
Berpijak pada persoalan itulah, pemerintah mengeluarkan opsi skema bisnis hulu migas yang baru yaitu gross split.
Skema kontrak dengan pembagian hasil berdasarkan produksi (gross split) itu diumumkan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pada awal 2017.
Dengan skema baru itu, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kontraktor KKS. Berbeda dengan skema cost recovery, di mana biaya operasi pada akhirnya menjadi beban pemerintah.
Sementara untuk presentase bagi hasil dalam skema terbaru, yaitu pembagian migas 57 persen untuk negara dan 43 persen untuk kontraktor, sementara pembagian untuk gas bumi 52 persen ke negara dan 48 persen untuk kontraktor.
(*)