Kalau S tidak kasih ia nanti jadi celaka.
Sambil mengatakan itu, ia lantas mengancam S dengan revolver, hingga S jadi ketakutan dan tinggal diam saja.
Akhirnya Belanda itu dengan leluasa membawa pergi ia punya istri.
Memang, seperti yang dikatakan Reggie Baay: menurut kebiasaan yang berlaku, sang gundik dapat disuruh pergi kapanpun sang laki-laki menginginkannya ("Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda," Komunitas Bambu; 2010).
Tampaknya, hal itulah yang terjadi pada sang Nyai.
Namun ternyata, setelah sang Nyai pergi dan menikah lagi, si Blanda merasa kesepian sehingga ia mencarinya dan memutuskan untuk mengambil lagi "miliknya," meskipun telah dinikahi oleh orang lain.
Malangnya nasib S, yang tak dapat berbuat apa-apa karena tidak berani melawan si Blanda dengan revolvernya.
Selain itu, S yang ketakutan tidak berani adukan perbuatan Blanda itu pada polisi.
Ia hanya tuturkan cerita tersebut pada beberapa kenalan saja." (Sin Po, November 1928).
Meskipun kehidupan para Nyai umumnya mapan dari segi materi, namun dalam status sosial kehadirannya sering dianggap sebagai perempuan murahan, karena tidak bisa mendapatkan status "istri" meski banyak diantara mereka telah memiliki anak dari hasil hubungan dengan majikannya.
(*)
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR