Advertorial
Intisari-Online.com – Biara Labuleng didirikan pada tahun 1709, dan dianggap sebagai kota biara Tibet terkemuka di luar Lhasa.
Tempat ini menjadi pusat sekte Topi Kuning dari Buddhisme Tibet, rumah bagi ribuan biksu pengikut Dalai Lama.
Monlam, atau festival doa agung, merupakan acara doa terpenting bagi banyak orang Tibet.
Ini dilarang selama Revolusi Kebudayaan di China, tapi sekarang dirayakan di banyak daerah.
Dianggap sebagai acara paling penting bagi umat Buddha Tibet, festival Monlam Agung dimulai tiga hari setelah tahun baru Imlek di wilayah etnis Tibet di China Barat dan diadakan selama hampir dua minggu.
Selama festival Monlam Agung itu, seluruh biksu menghadiri Debat Besar di hadapan Buddha Hidup, berdoa untuk berkah Yang Tercerahkan.
Di atas ketinggian 3260 m dan suhu turun menjadi -27 derajat Celcius.
Para biksu duduk tanpa ekspresi, seperti tidak menyadari adanya badai salju yang menerpa mereka.
Festival Monlam Agung dirayakan selama bulan lunar pertama dalam kalender Tibet, biasanya sekitar Februari, menandai dimulainya Tahun Baru Tibet.
Selama Festival Monlam Agung, jutaan peziarah melakukan perjalanan ke biara-biara untuk berdoa memohon keberuntungan di tahun baru dan memberikan persembahan kepada mendiang kerabat mereka.
Salah satu tujuan paling populer bagi para peziarah adalah biara Labrang di daerah Xiahe, prefektur otonomi Tibet Gannan, provinsi Gansu.
Acara utama festival Monlam Agung diadakan pada hari-hari terakhir.
Pertama datang upacara ‘membuka selubung Buddha’, di mana biksu Buddha Tibet membawa thangka (lukisan suci di atas kain) berukuran 30 meter kali 20 meter yang menggambarkan Buddha di lereng bukit di atas biara yang untuk ditunjukkan kepada ribuan jamaah.
Para biksu kemudian membentangkan thangka yang menggambarkan Buddha untuk ditampilkan kepada penyembah dan pengunjung lainnya selama festival.
Keesokan harinya, para biksu berkostum seperti dewa dan pelindung Dharma melakukan tarian Cham.
Dengan gerakan lambat dan berulang, ritual berjam-jam ini dilakukan untuk menghancurkan roh jahat dan kebaikan umat yang lebih besar, melansir The Guardian.
Umat Buddha yang taat menggunakan tarian ini untuk bermeditasi dan terhubung secara spiritual dengan dewa-desa yang digambarkan.
Setelah itu, semua orang bergabung dengan prosesi besar.
Pada malam berikutnya, semua biksu dan peziarah melakukan perjalanan untuk melihat patung yang terbuat dari mentega yak oleh biksu Buddha Tibet yang secara tradisional mewakili persembahan kepada Buddha dan dewa.
Pada hari terakhir festival, prosesi terakhir diadakan, ketika biksu Buddha Tibet membawa patung Maitreya, calon Buddha, membuat Kora (sirkuit ziarah) di sekitar biara Labrang bersama dengan ribuan peziarah.
Meskipun Partai Komunis China adalah ateis, namun mereka mengakui lima negara, termasuk Buddha, di samping banyak kepercayaan rakyat.
Kebanyakan etnis Tibet mempraktekkan Buddhisme Tibet, yang merupakan bentuk berbeda dari Buddhisme.
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari