Intisari-Online.com -Sebelum ada kasus polisi tembak polisi yang melibatkan Brigadir J dan Irjen Ferdy Sambo, di Indonesia pernah ada kasus seorang tentara membakar 9 tentara lainnya.
Ya, 9 orang tentara. Kesembilan orang tersebut dibakar secara bersamaan setelah sebelumnya diberondong dengan peluru pada tahun 1979.
Pelaku lalu membawa kabur uang Rp20-an juta, jumlah yang sangat besar pada tahun 1979, yang dibawa salah satu korbannya.
Setelah melalui berbagai upaya untuk meringkusnya, sang pelaku akhirnya berhasil diringkus dan divonis mati oleh Pengadilan Militer.
Hanya saja, sang pelaku berhasil kabur dari penjara militer dan melalang buana selama 20 tahun.
Gara-gara keteledorannya sendiri, sang pelaku berhasil dibekuk aparat keamanan, namun kala itu dia telah berprofesi sebagai ustad.
Seperti diketahui, kasus polisi tembak polisi di rumah mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo mulai menjadi perbincangan pada Senin (11/7/2022).
Narasi yang beredar saat itu, Bharada E menembak mati Brigadir J yang mencoba membunuhnya setelah melakukan pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, pada Jumat (8/7/2022).
Belakangan, narasi tersebut kemudian diketahui merupakan skenario yang disusun oleh Ferdy Sambo sendiri.
Tidak ada kejadian saling tembak antara Brigadir J dan Bharada E, yang ada justru Bharada E diminta menembak Brigadir J yang disebut sudah dalam kondisi tidak berdaya.
Kasus pelecehan seksual yang semula dinarasikan terjadi pada Putri Candrawathi pun kemudian terungkap tidak pernah terjadi, hanya bagian dari skenario Ferdy Sambo.
Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Maruf (sopir Ferdy Sambo), dan Bripka RR (ajudan Ferdy Sambo lainnya) kini pun ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus pembunuhan berencana.
Mundur ke tahun 1979, sebuah tragedi berupa aparat keamanan membunuh sesama aparat keamanan juga pernah terjadi.
Bahkan bisa dibilang lebih kejam, sebab jumlah korbannya mencapai 9 orang dan para korban juga dibakar usai ditembak.
Pelakunya bernama Eddy Maulana Sampak atau lebih tenar dengan sebutan Eddy Sampak.
Eddy sebenarnya memiliki riwayat mentereng saat menjadi tentara karena terlibat dalam berbagai operasi militer, termasuk penumpasan gerombolan DI/TII.
Sayang, hasratnya untuk menjadi kepala desa, yang selalu gagal, kemudian menjerumuskannya pada utang sebesar Rp3 juta kepada rentenir dan teman-temannya.
Amarah Eddy, yang sudah kalah dan dililit utang, semakin memuncak kala Komandan Kodim Cianjur Letkol Kahyat malah menempatkan rekan Eddy, Serma Sutaryat, sebagai kepala desa sementara.
Hingga suatu hari Eddy Sampak mengetahui bahwa Serma Sutaryat bakal mengambil gaji bulanan anggota Kodim Cianjur di Bank Karya Pembangunan di Sukabumi.
Eddy kemudian mengajak Ojeng bin Rojai (salah seorang penggarap sawah) untuk merampok, dengan tugas membawa tas (berisi senjata) dan membeli bensin.
Sebenarnya, saat berada di Sukabumi, sempat terjadi cekcok antara Eddy dan Sutaryat kala Sutaryat menolak permintaan Eddy untuk memberikan gajinya saat itu.
Namun, keduanya kemudian 'berdamai' dengan Eddy dan Ojeng kemudian meminta untuk ikut serta dengan rombongan Sutaryat untuk pulang ke Cianjur menggunakan minibus Mitsubishi Colt.
Sesampai di Gekbrong, Eddy tiba-tiba meminta rombongan untuk keluar dari jalan besarmenujuKecamatan Cugenang.
Dalih yang dilontarkan Eddy saat itu adalah dirinya ingin mengambil kambing untuk persiapan lebaran.
Hingga saat rombongan tiba di kawasan Kebon Peuteuy, Eddy yang sempat meminta sopir memperlambat laju kendaraan, tiba-tiba menembaki seluruh penumpang dengan senapan Carl Gustaf, kecuali Ojeng.
Mobil Colt yang mereka tumpangi lalu dibakar oleh Eddy menggunakan bensin yang sebelumnya dibawa oleh Ojeng.
Beruntung, aksi brutal tersebut masih menyisakan satu korban selamat, yaitu Koptu Sumpena, yang kemudian melaporkan aksi Eddy kepada pihak Kodim Cianjur.
Tim pemburu, yang tak hanya melibatkan anggota TNI tapi juga Polri, kemudina langsung dikerahkan menuju kawasan Gunung Gede, di mana Eddy dan Ojeng mencoba bersembunyi.
Meski mengalami berbagai kesulitan bahkan perlawanan, tim pemburu akhirnya berhasil meringkus Ojeng dan Eddy di tempat dan waktu yang berbeda.
Eddy yang langsung dibawa ke Rumah Tahanan Militer di Cimahi, kemudian dijatuhi hukuman mati di Pengadilan Militer II/09 Bandung pada 12 Juni 1981.
Ojeng 'hanya' dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun sementara Bani (mertua Eddy yang turut menerima uang hasil rampokan) divonis penjara 4 bulan.
Sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati, Eddy mencoba meminta grasi kepada Presiden Soeharto, yang kemudian secara tegas menolaknya pada 18 Oktober 1984.
Dus, Eddy pun kemudian murka dan mulai memikirkan cara agar hidupnya tidak berakhir dengan peluru menembus tubuhnya.
Dengan cara memanjat sel tahanan di Rumah Tahanan Militer Poncol, Baros, Cimahi, Eddy pun berhasil melarikan diri.
Bermodal KTP palsu, Eddy melanglang buana ke berbagai daerah, dari Serang, Lampung, Jambi, Bengkulu, hingga Palembang.
Sebelum akhirnya, pada 2006, Eddy memilih untuk kembali ke Jayanti, Tangerang, tempat di mana istri ketiganya, Saeti, menetap.
Di daerah tersebut, Eddy yang merasa kasusnya sudah lama berlalu, tidak lagi menyembunyikan jati dirinya.
Dia mengakui bahwa dirinya adalah Eddy Sampak yang pernah terlibat kasus perampokan sekaligus pembunuhan kepada rekan-rekan tentaranya.
Hanya saja, Eddy mengaku bahwa kasusnya tersebut telah selesai dan dirinya sudah bebas dari segala hukuman.
Dengan label sebagai 'penjahat insaf', Eddy pun kemudian menjadi sesepuh alias yang dituakan di wilayah tersebut.
Bahkan dirinya sudah menjadi seorang ustad dengan sebutan Abah Eddy.
Semakin percaya diri dengan segala label yang melekat pada dirinya, Eddy pun tidak berpikir panjang kala dirinya diminta untuk menjadi penasehat dan pembina di tabloid Alternatif dan koran Surya Pos Banten.
Padamasthead kedua media tersebut, namanya tercantum jelas, meski mengalami sedikit 'otak-otik' menjadi Maulana Eddy Sampak.
Siapa sangka, aparat setempat ternyata masih ada yang mengingat jelas nama tersebut.
Dengan menggunakan pakaian 'biasa', para aparat keamanan yang berisi para Polisi Militer, kemudian mendatangi kediaman Eddy Sampak.
Namun, tepat saat Eddy menyodorkan tangannya untuk bersalaman, sebuah borgol tiba-tiba saja terpasang.
Tapat pada 22 Februari 2006, Eddy Sampak dibawa kembali ke Lembaga Pemasyarakatan Militer (Lesmasmil) II CImahi di Jalan Poncol, Baros, Kota Cimahi.
Eddy yang saat itu sudah berusia 67 tahun mungkin baru sadar, pelariannya selama 22 tahun telah berakhir.
Eddy, yang permohonan grasinya ditolak oleh Presiden Joko Widodo, kini masih mendekam di dinginnya sel Lapas Kelas I Cirebon.
Mungkin sambil merenungi kekejamannya kepada rekan-rekannya sendiri.