Intisari-Online.com – Desa terpencil Sagada terletak di pegunungan Cordillera Centra di utara Luzon, pulau terbesar dan terpadat di Filipina.
Tempat ini ditempuh dengan perjalanan sejauh 8,5 jam melewati jalan bergelombang dan berkelok-kelok dari Manila.
Mereka yang melakukan perjalanan akan menemukan kebiasaan kuno yang menghantui sekaligus luar biasa.
Dalam sebuah ritual yang diyakini berasal dari 2.000 tahun yang lalu, suku Igorot menguburkan orang mati mereka di peti mati berukir tangan yang diikat atau dipaku ke sisi tebing dan digantung tinggi di atas tanah.
Pemakaman yang melawan gravitasi ini dipercaya dapat membawa orang yang telah meninggal lebih dekat dengan arwah leluhurnya.
Secara tradisional orang tua telah melubangi peti mati mereka sendiri dari kayu lokal dan melukis nama mereka di sampingnya.
Sebelum jenazah diletakkan di peti mati itu, ditempatkan di ‘kursi kematian’ kayu, lalu diikat dengan daun dan tanaman merambat dan ditutup dengan selimut.
Jenazah kemudian diasapi untuk mencegahnya membusuk saat kerabat memberi penghormatan selama beberapa hari.
Melansir dari BBC, menurut pemandu Igorot Siegrid Bangyay, di masa lalu, anggota keluarga yang memindahkan jenazah dari kursi kematian ke peti mati harus mematahkan tulang orang yang meninggal untuk memasukkannya ke dalam peti mati sepanjang 1m dalam posisi janin.
Saat ini, peti mati gantung cenderung lebih besar dan panjangnya kira-kira 2 meter.
“Ini seperti kembali ke tempat asalnya, dalam posisi janin dalam kandungan,” kata Bangyay.
Saat jenazah dibungkus dengan daun rotan kemudian ditempatkan di peti mati, para pria menancapkan pasak logam ke permukaan tebing untuk menggantung peti mati di tempat peristirahatan terakhirnya.
Sebelum peti mati diangkut ke tebing, pelayat membiarkan cairan dari mayat yang membusuk menetes ke tubuh mereka, karena mereka percaya bahwa itu akan memberi mereka keberuntungan.
Ritual pemakaman kuno Igorot adalah unik di Filipina, peti mati menggantung dari tebing secara historis telah dipraktikkan di kantong-kantong China dan Indonesia.
Di tempat lain, kebiasaan menghadap tebing ini sudah lama berhenti, tetapi di Sagada, tradisi ini tetap hidup.
Menurut Bangyay, pemakaman tebing terakhir terjadi pada tahun 2010.
Dalam beberapa tahun terakhir, sedikit pelancong yang tertarik berziarah ke Sagada untuk mengunjungi peti mati gantung.
Ironisnya, pemakaman vertikal ini telha berubah menjadi mata pencarian yang menguntungkan bagi masyarakat Igorot, memberikan ekonomi yang sangat dibutuhkan untuk seluruh desa.
Kini, menurut Bangyay, jauh lebih sedikit ritual pemakaman peti mati di Sagada dibandingkan generasi sebelumnya, namun dia yakin tradisi itu akan terus berlanjut.
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari