Pantas Ucapan Gus Dur Ini Bikin Rakyat Timor Leste Terenyuh Meski Detik-Detik Kemerdekaannya Diwarnai Tragedi Berdarah, 'Tumbalkan' 2.000 Nyawa Rakyat Timor Leste di Tangan Milisi Pro-Indonesia

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Gus Dur
Gus Dur

Intisari-online.com - Sekitar 23 tahun lalu, sebuah kontingen pengamat internasional yang dipimpin oleh Australia mendarat di Timor Timur.

Tujuannya untuk mengawasi referendum yang didukung PBB untuk mengakhiri lebih dari dua dekade pendudukan Indonesia dan menentukan nasib bekas jajahan Portugis itu.

Tetapi hasil langsungnya sangat menghancurkan Indonesia.

Rakyat Timor Timurmemberikan suara sangat mendukung kemerdekaan, membuat marah para loyalis Indonesia yang mengamuk segera setelah pemungutan suara 30 Agustus.

Sekitar setengah juta orang mengungsi, setengah melarikan diri dari negara itu, antara 1.400 dan 2.000 orang tewas.

Kemudian 70 bangunan hancur saat Misi PBB di Timor Timur (UNAMET), 1300 staf lokal, jurnalis dan pekerja LSM dievakuasi ke Darwin.

Klan dan suku bersatu dibawah pemimpin perlawanan karismatik Xanana Gusmao dan perang gerilya tingkat rendah berlangsung sampai Suharto digulingkan dari kekuasaan.

Di tengah krisis keuangan dan pemerintahan baru yang disebut pemungutan suara cepat untuk penentuan nasib sendiri untuk 30 Agustus 1999.

Baca Juga: Dulu Mati-Matian Lepas dari Indonesia, Presiden Timor Leste Malah Singgung Ingin Gabung ASEAN Tahun Depan di Bawah Kepresidenan Indonesia, Apa Maksudnya ?

Lebih dari 78 persen memilih kemerdekaan, jauh lebih besar daripada yang berani dibayangkan oleh para loyalis pro-Jakarta dan itu membuat marah pemimpin milisi Eurico Guterres yang menyerukan pembantaian siapa pun yang mendukung Gusmao dan separatisnya.

Pria, wanita dan anak-anak ditembak, dibantai dengan pedang, diperkosa dan disiksa. Lebih dari seratus wartawan juga dievakuasi.

Di antara mereka adalah koresponden Fairfax, Lindsay Murdoch.

"Selama empat dekade berkarir dengan The Age, saya bergabung dengan Marinir AS selama perang Irak 2003 dan meliput banyak pemberontakan, kudeta, dan konflik," katanya.

"Tapi saya tidak pernah merasa takut seperti di Timor Timur," katanya.

Murdoch mengatakan ancaman, serangan, dan tindakan intimidasi jelas ditujukan untuk memaksa personel PBB, pekerja bantuan, jurnalis, dan orang asing lainnya untuk pergi.

Mungkin yang terburuk dari pembantaian terjadi di luar rumah Pastor Rafael dos Santos, pastor paroki di Liquica.

Sekitar 2.000 orang mengungsi dan menjadi sasaran milisi Besi Merah Putih Gutteres.

Didukung oleh tentara Indonesia, yang menembakkan gas air mata, milisi Gutteres turun dengan pedang saat mereka melarikan diri.

"Motif mereka: untuk membunuh, memperkosa dan mencuri, dan menutup mata orang asing. Rencananya berhasil: cepat atau lambat kita semua melarikan diri," kata Murdoch, mencatat pembunuhan dan kehancuran dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi keadilan tidak pernah diberikan.

Insiden tersebut dikenal dengan istilah pembantaian Santa Cruz oleh milisi Indonesia, dan kelompok pro-Indonesia.

PBB turun tangan, mengirim pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia untuk memastikan kemerdekaan Timor Leste.

Namun, setelah kemerdekaan tersebut ternyata ada sosok Presiden Indonesia yang meminta maaf pada Timor Leste akibat kekejaman yang pernah dilakukan Indonesia.

Dia adalah Gus Dur, Seperti dikutip dari NU.or.id, Gus Dur pernah meminta maaf pada raktyat Timor Leste.

Pada tahun 2002 setelah Timor Leste merdeka, Ramos-Horta yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Timor Leste merasakan betul keharmonisan hubungan antarkedua negara ini dimulai sejak Indonesia dipimpin oleh Gus Dur.

Menurutnya,Gus Dur adalah sosok yang berani mengakui kesalahan dan menyampaikan permintaan maaf atas apa yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya kepada rakyat Timor Leste.

"Saya mau meminta maaf atas semua kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Kepada para korban dan keluarga korban insiden Santa Cruz dan teman-teman yang dikuburkan dalam kuburan militer," kata Gus Dur dikutip dari NU.co.id.

"Keduanya adalah korban dari kejadian yang kita sama-sama tidak inginkan," ucap Gus Dur, sebagaimana terarsip dalam media Tais Timor (13 Maret 2000). Tais Timor merupakan media yang dikelola oleh UNTAET.

Artikel Terkait