Intisari - Online.com -Presiden Timor-Leste Jose Ramos-Horta mengatakan dia akan mencalonkan dua organisasi Muslim moderat Indonesia untuk Hadiah Nobel Perdamaian.
Ramos-Horta, seorang peraih Nobel perdamaian, mengatakan dua kelompok Muslim di Indonesia – Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah – layak mendapat pengakuan internasional atas kontribusi mereka dalam mempromosikan toleransi di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia itu.
Presiden Timor-Leste membuat pernyataan saat mengunjungi markas Nahdlatul Ulama di Jakarta pada 20 Juli, sebagai bagian dari kunjungan selama seminggu ke Indonesia, dilansir dari UCA News.
“Saya juga akan mengusulkan kedua organisasi ini untuk satu lagi penghargaan yang sangat bergengsi, yaitu Zayed Award for Human Fraternity,” tambahnya.
Penghargaan internasional ini diberikan untuk menandai pertemuan bersejarah Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad At-Tayyeb, pada Februari 2019 di Abu Dhabi.
Ramos-Horta adalah anggota komite juri untuk Zayed Award tahun ini.
Berterima kasih kepadanya, Ketua Nahdlatul Ulama Yahya Cholil Staquf mengatakan: "Ini suatu kehormatan bagi kita semua."
Pastor Franz Magnis-Suseno Yesuit, profesor emeritus di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta, mengatakan kepada UCA News bahwa ia mendukung penuh inisiatif Ramos-Horta.
Imam, yang mempromosikan dialog antaragama, mengatakan dia telah menulis surat kepada Komite Perdamaian Nobel pada 2019 mengusulkan nama-nama kedua organisasi.
“Saya kira kedua organisasi ini sangat penting untuk menunjukkan bagaimana Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim di dunia dapat menjadi negara yang toleran dan menjaga Pancasila ,” katanya, menyinggung ideologi sekuler negara Indonesia.
Pastor Magnis-Suseno mengatakan mempertahankan kebijakan toleransi yang konsisten sambil mengatasi berbagai tantangan dalam sejarah Indonesia, termasuk upaya kelompok ekstremis untuk mengganggu perdamaian, patut mendapat pengakuan internasional.
“Sulit membayangkan Indonesia bisa bertahan dengan Pancasilanya , tanpa keberadaan dua organisasi ini,” kata imam kelahiran Jerman itu.
Didirikan pada tahun 1926, Nahdlatul Ulama dikenal luas karena apresiasinya terhadap pluralisme dan pelarangan istilah "kafir" untuk menyebut non-Muslim. Kelompok ini telah memelihara hubungan baik dengan kelompok minoritas, termasuk umat Katolik.
Ketuanya saat ini, Staquf, yang menjabat tahun lalu, bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan pada tahun 2020.
Pada tanggal 9 Juni, organisasi tersebut menandatangani perjanjian dengan Komunitas Sant'Egidio, sebuah kelompok awam Katolik Italia, untuk mempromosikan perdamaian antaragama dan pekerjaan kemanusiaan.
Muhammadiyah, didirikan pada tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan, seorang ulama Muslim, adalah organisasi Islam tertua di Indonesia yang didedikasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan kegiatan sosial.
Muhammadiyah mengelola lebih dari 5.000 sekolah dasar dan menengah, serta lebih dari 175 universitas di Indonesia.
Organisasi tersebut menekankan perlunya kembali kepada Al-Qur'an dan perilaku teladan Nabi Muhammad.
Pada Oktober tahun lalu, sekretaris jenderalnya Abdul Mu'ti menjadi pembicara pada pertemuan tentang agama dan pendidikan di Vatikan, yang juga dihadiri oleh paus.
Umat Islam di Timor Leste makin terkikis
Pernyataan Ramos Horta sedikit mengejutkan, karena Timor Leste awalnya bukanlah negara yang peduli dengan agama Islam.
Islam dulunya masuk ke Dili, ibukota Timor Leste, jauh sebelum kedatangan Portugis tahun 1512.
“Pasukan Portugis terusir dari Gowa, Sulawesi Selatan, mereka tiba di Dili dan disambut oleh pemimpin masyarakat setempat yang bernama Abdullah Afif,” tulis Ambarak A Bazher dalam bukunya yang berjudul "Islam di Timor Timur".
Nama pemimpin masyarakat Dili yang penuh nuansa keislaman itu tunjukkan kesan jika warga setempat sudah mengenal Islam dan ada orang Arab yang tinggal di Dili.
Catatan sejarah mencatat berbagai teori mengenai kedatangan Islam.
Salah satunya menyebut datangnya bersamaan dengan penyebaran Islam oleh para pedagang Arab yang berlayar sampai ke pulau-pulau dekat dengan Maluku melalui jalur laut di selatan Sulawesi.
Dugaan lainnya adalah dilakukan oleh para ulama dari kerajaan-kerajaan Islam di sekitar Dili, seperti Gowa-Tallo, Ternate, dan bahkan Samudra Pasai.
Penduduk Arab datang ke Timor Leste, mereka adalah pendatang Arab Hadramaut yang tiba di Timor Leste sebelum Portugis.
Mereka baru menetap pada abad ke-17, dan setidaknya ada 26 keluarga Arab Hadramaut yang menetap di Dili sejak 1678 sampai 1975.
Mereka segera dicurigai oleh pemerintah kolonial Portugis, beberapa bahkan dipenjara tanpa sebab.
Arab Hadramaut kemudian tinggal di Kampung Alor, Dili bagian barat sejak abad ke-19.
Daerah itu menjadi pendaratan Marinir Indonesia dalam serangan ke Dili.
Portugis benar-benar mengubah wajah Islam di Timor Leste, dan kekuatan kolonialis mematikan budaya dan pengikut Islam.
Kemudian Portugis gencar melakukan Kristenisasi di daerah-daerah yang belum terjamah oleh Islam.
Kini jumlah Muslim yang tinggal di Timor Leste hanya ada 5000 jiwa, atau 3% dari total penduduk Timor Leste.
Rupanya hal ini karena banyak penduduk Muslim yang tinggal di Dili berasal dari Pulau Jawa yang ikut program transmigrasi pemerintah.
Kemudian ketika terjadi referendum, warga balik ke tempat asal.
Muslim Timor Leste makin terkikis karena seperti dikutip dari Etan.org, saat puncak kekacauan Timor Leste dan para milisi mengamuk, kaum Muslim berlindung di sebuah masjid di Dili.
Mereka terus hidup di sana sampai saat ini, takut dengan orang-orang yang mencurigai mereka sebagai pendukung Indonesia.
Tahun 2001 lalu, terjadi serangan ke masjid di Dili tersebut yang dikutip oleh reliefweb.int, menyebabkan pejabat senior dari Administrasi Transisi PBB di Timor Leste (UNTAET) mengutuk serangan tersbeut.
"UNTAET berkomitmen membangun masyarakat damai menjunjung demokrasi di Timor Leste," ujar pelaksana tugas ketua Administrasi Transisi Jean-Christian Cady dalam pernyataannya dikutip reliefweb.int.
"Jantung demokrasi tersusun toleransi dan perlindungan hak minoritas. Minoritas Muslim di Timor Leste akan menikmati hak dan keuntungan yang sama dengan kaum beragama, sosial atau etnis lain, termasuk perlindungan dari otoritas.:
Masjid Anur adalah nama masjid tersebut dan kejadian penyerangan saat itu adalah 200 penghuninya jadi sasaran insiden pelemparan batu pada 1 dan 2 Januari 2001.
Pelakunya adalah 40 pria Timor Leste.
Masalah dimulai setelah penyerang menolak akses kepada salah satu mobil milik orang yang tinggal di masjid tersebut.
Dulunya tokoh-tokoh terkemuka Timor Leste seperti Pendeta Carlos Belo dan Xanana Gusmao serta Jose Ramos-Horta mengunjungi satu-satunya masjid di Timor Leste itu untuk memberikan dukungan.