Orang Jepang menuntut dan memperoleh ketaatan. Hukuman begitu beratnya sampai tidak ada yang berani berbuat kriminal. Kini pendudukan Jepang yang menyengsarakan sudah berlalu. Rakyat yakin, beras, buah-buhan, sayur-mayur, daging, dan makanan kaleng akan mengalir lagi. Namun, awal 1946 kami insaf bahwa Singapura yang dulu, yang damai, stabil, bebas, dan santai tidak kembali.
Kota dipenuhi tentara Sekutu yang memadati kafe, bar, dan kabaret yang bermunculan. Perusahaan-perusahaan dagang lama belum bisa memulai kegiatan mereka karena karyawan-karyawan Inggris sudah tewas. Kedatangan kapal-kapal tidak menentu dan barang-barang menjadi langka.
Raffles College masih belum dibuka. Akhirnya, ibu dan saya memutuskan, saya akan belajar ilmu hukum ke Inggris dengan dibiayai oleh tabungan ibu ditambah hasil penjualan perhiasannya, uang saya sendiri dan sokongan keluarga. Adik saya, Dennis, akan ke Inggris juga.
Akhir 1945 saya berhasil menemukan pekerjaan sementara untuk Choa di Raffles Library. Saya biasa mengantarnya pulang. Kadang-kadang kami duduk-duduk dulu di Taman Chesed-El Synagogue yang sunyi di Oxley Rise.
Pada malam Tahun Baru saya mengajak Choo ke pesta untuk kawula muda di Mandalay Villa di Amber Road. Di sana saya membawanya ke halaman yang menghadap ke laut dan memberi tahu dia bahwa saya tidak akan meneruskan belajar di Raffles College, tapi akan ke Inggris untuk belajar ilmu hukum. Saya bertanya apakah ia mau menunggu saya selama tiga tahun.
Choo bertanya apakah saya tahu bahwa ia dua setengah tahun lebih tua dari saya. Saya jawab bahwa saya tahu dan sudah mempertimbangkannya masak-masak.
Lagi pula saya ingin pasangan yang setara, bukan gadis yang belum matang, yang sangat tergantung kepada saya. Choo menjawab, ia akan menunggu.
Kami tidak memberi tahu orang tua kami. Soalnya, kami kira mereka tidak akan menyetujui perjanjian jangka panjang itu.
Sebelum saya berlayar ke Inggris, ibu saya sebetulnya berusaha menjodohkan saya dengan gadis Cina. Ia khawatir kelak saya pulang membawa istri Inggris.
Tiga kali ibu memperkenalkan saya kepada gadis baik-baik dari keluarga baik-baik pula, tetapi ketiga-tiganya tidak membangkitkan minat saya. Saya bahagia dengan Choo. Akhirnya, saya berterus-terang kepada ibu. Ibu bisa menerimanya.
Ayah Choo, Kwa Siew Tee adalah bankir pada Chinese Banking Corporation. Ia Cina kelahiran Jawa seperti ayah saya dan nenek saya dari pihak ayah. Ibunya seperti ibu saya adalah Cina kelahiran lokal. Jadi, latar belakang kami, bahasa yang kami pergunakan di rumah dan norma-norma sosial yang kami anut sama.
Sebelum masuk Raffles College, Choo belajar di Methodist Girls' School. Karena ia lulusan terbaik dari ujian Senior Cambridge pada umur baru 16 tahun, ia dimasukkan ke kelas khusus di Raffles College, untuk bersaing merebut Queen's scholarship. Namun, ia tidak berhasil mendapat beasiswa itu.
Ayahnya termasuk berada, sehingga sebelum perang Choo ke mana-mana diantar dengan mobil. Di zaman Jepang, Choo terkungkung di flat dan menanti-nantikan Pangeran Idaman. Ternyata Pangeran Idamannya datang bukan berkuda putih, melainkan menunggang sepeda berban mati!
Sebelum saya berangkat, kami meminta sepupu saya, Harold Liem, untuk memotret kami berdua selama beberapa hari berturut-turut. Kami sedang jatuh cinta dan ingin mempunyai sesuatu untuk saling mengenang selama berpisah.
Kami berharap Choo bisa kembali masuk ke Raffles College untuk memenangkan beasiswa Queen's, supaya bisa menyusul saya ke Inggris dan belajar hukum pula. Ketika saya meninggalkan Inggris pada hari ulang tahun saya yang ke-23, Choo menangis. Begitu pula saya.
--
Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Januari 1999 dalam rubrik Cukilan Buku, ditulis oleh Helen Ishwara, dengan judul asli Lee Kuan Yew Masa Mudanya Penuh Derita.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR