Intisari - Online.com - Dengan melaksanakan "misi perdamaian" ke Rusia dan Ukraina setelah menghadiri pertemuan G7 di Jerman, Presiden Jokowi akan mengikuti langkah dari mereka yang sudah berusaha menghentikan perang Vladimir Putin.
Interpretasi pertama dari misi ini mungkin adalah contoh kebijakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia.
Seperti diketahui, Indonesia tidak lelah dengan menggaungkan posisi 'independen' atau tidak memihak sejak pasukan Rusia mulai menyerang Ukraina.
Dikutip dari The Strategist, dalam semangat berpihak ini Jakarta memihak respon formal awalnya atas invasi, yaitu dengan menghindari menamai penyerang dan menyebut kedua belah pihak untuk mengejar "resolusi perdamaian melalui diplomasi", seakan-akan kedua belah pihak sama-sama berniat perang.
Seperti disampaikan oleh David Engel, kepala program ASPI di Indonesia dan mantan duta besar Australia untuk Meksiko dan negara-negara Amerika Tengah, bahwa kunjungan ke dua ibukota adalah semangat lama pendiri Indonesia, Mohammad Hatta.
Hatta pernah mengatakan kebijakan luar negeri Indonesia disusun untuk tujuan menguatkan dan mempertahankan perdamaian, dan untuk itu Indonesia akan "bekerja secara energik melalui dukungan oleh sebagian besar anggota PBB."
Jokowi sendiri tampaknya bersemangat dalam hal ini, seperti disampaikan Engel, mengutip pernyataan Jokowi sebelum berangkat ke Eropa.
"Saya akan mengunjungi Ukraina," ujar Jokowi, dengan tujuan "mengundang Presiden Ukraina, Presiden (Volodymyr) Zelensky untuk terbuka pada kesempatan dialog terkait perdamaian."
Engel menyebut Jokowi juga berniat mencapai tujuan yang sama dalam kunjungannya ke Moskow.
Dia akan mengulangi tawarannya kepada Zelensky dengan juga mengundang Putin untuk membuka dialog dengan mitranya dari Ukraina dan 'sesegera mungkin ... membuat gencatan senjata dan menghentikan perang'.
Namun, langkah Jokowi ini terbilang terlalu basa-basi, seperti disebut Engel, karena alih-alih mengakhiri konflik, Jokowi seharusnya mendesak untuk gencatan senjata.
Namun Indonesia tidak sekuat itu mendesak hal tersebut karena kekurangan sumber daya dan kemampuan untuk menengahi konflik.
KOMENTAR