Intisari - Online.com - Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad telah membuat pernyataan kontroversial bahwa Singapura dan Riau dulunya dimiliki oleh Johor.
Melansir The Straits Times, Mahathir juga menyebut negara bagian Johor seharusnya mengklaim bahwa Singapura seharusnya dikembalikan ke Johor dan Malaysia.
"Namun, tidak ada tuntutan apapun dari Singapura. Sebaliknya, kami menunjukkan apresiasi kami kepada kepemimpinan negara baru bernama Singapura ini," tambahnya saat berpidato, Minggu (19 Juni).
Mahathir juga mengatakan pemerintah Malaysia menganggap lebih berharga bahwa mereka memenangkan kendali atas pulau Sipadan dan Ligitan di lepas Kalimantan melawan Indonesia di Mahkamah Internasional (ICJ), sambil menyerahkan sepotong batu "seukuran meja " - Pedra Branca - ke Singapura.
“Seharusnya kita tidak hanya menuntut agar Pedra Branca, atau Pulau Batu Puteh, dikembalikan kepada kita, kita juga harus menuntut Singapura dan Kepulauan Riau, karena mereka adalah Tanah Melayu,” tambahnya yang disambut tepuk tangan meriah dari para hadirin.
Mantan perdana menteri berusia 96 tahun, yang dikenal karena pernyataan kontroversialnya, berbicara pada hari Minggu di sebuah acara di Selangor yang diselenggarakan oleh beberapa organisasi non-pemerintah di bawah bendera Kongres Survival Melayu (Kongres untuk Kelangsungan Hidup Melayu) dan berjudul Aku Melayu: Survival Bermula (Saya Melayu: Kelangsungan Hidup Dimulai).
Dalam pidato pembukaannya yang disiarkan langsung di media sosial, Dr Mahathir, MP untuk Langkawi, mengatakan bahwa apa yang dikenal sebagai Tanah Melayu dulu sangat luas, membentang dari Tanah Genting Kra di Thailand selatan sampai ke Kepulauan Riau, dan Singapura, tetapi sekarang terbatas di Semenanjung Malaya.
"Saya bertanya-tanya apakah Semenanjung Malaya akan menjadi milik orang lain di masa depan," katanya.
Ia juga mengatakan Malaysia saat ini bukan milik bumiputera, karena banyak orang Melayu yang tetap miskin dan cenderung menjual tanahnya.
Mendesak pendengarnya untuk belajar dari masa lalu, dia berkata: "Jika kami menemukan kami salah, kami harus memperbaiki kesalahan ini sehingga tanah kami tetap tanah Melayu."
ICJ pada tahun 2002 memutuskan bahwa Sipadan dan Ligitan milik Malaysia dan bukan milik Indonesia.
Pada tahun 2008, ICJ memutuskan bahwa Pedra Branca milik Singapura, sementara kedaulatan atas Middle Rocks di dekatnya diberikan kepada Malaysia.
Pada 2017, Malaysia mengajukan permohonan kepada ICJ untuk merevisi putusan ini. Tetapi pada Mei 2018, setelah Dr Mahathir menjadi perdana menteri lagi, Malaysia mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan proses tersebut.
Lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia
Melansir Kompas.com, Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau yang terletak di timur laut Pulau Kalimantan dan diperebutkan dulunya oleh Indonesia dan Malaysia.
Sengketa ini sudah berlangsung sejak 1969 sampai 2002, selama 33 tahun.
Awalnya, pada 1966, Indonesia dan Malaysia sama-sama memberi izin eksplorasi atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
Izin tersebut dikeluarkan pada 6 Oktober 1966, kepada perusahaan asing PN Pertambangan Minyak Nasional dan Japex.
Akan tetapi, pada 1967, sengketa atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan mulai terjadi, setelah dilangsungkan pertemuan mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia.
Dalam pertemuan tersebut, Indonesia dan Malaysia saling memperebutkan kepemilikan wilayah atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
Indonesia punya bukti-bukti dokumen terkait kepemilikan dua pulau ini, jika dilihat dari catatan sejarah.
Kemudian Indonesia-Malaysia sepakat memberi status quo kepada kedua pulau ini, membuat kedua pulau tidak boleh ditempati atau diduduki sampai kasus sengketa selesai.
Malaysia memahaminya status quo itu tetap berada di bawah kepemilikannya, sehingga walaupun tidak ditempati, mereka membangun resor pariwisata di salah satu pulau tersebut.
Akhirnya tahun 1969, Malaysia memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke peta nasional mereka secara sepihak, dilengkapi memasang tanda dan merawat Pulau Sipadan dan Ligitan.
Tahun 1991, Indonesia dan Malaysia membentuk Kelompok Kerja Bersama guna mempelajari situasi dan kondisi kedua pulau tersebut, tapi tidak membuahkan hasil.
Selanjutnya dilangsungkan pertemuan lain guna membahas status kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, tapi masih saja temui jalan buntu.
Akhirnya masalah sengketa ini diberikan kepada Mahkamah Internasional.
Penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan berlandaskan hukum pasal 2 ayat 3 dan pasal 3 Piagam PBB.
Kemudian, diketahui bahwa terjadinya sengketa atas Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan oleh ketidakjelasan garis perbatasan yang dulunya dibuat Belanda dan Inggris di perairan timur Pulau Kalimantan.
Akibatnya, Indonesia dan Malaysia mengalami permasalahan dalam menentukan garis perbatasan.
Akhirnya di tahun 2002 diputuskan bahwa pulau Sipadan dan Ligitan jatuh ke negara Malaysia berdasarkan bukti sejarah yang diterima Mahkamah Internasional dari Malaysia.
Dokumen Malaysia membuktikan jika Inggris (penjajah Malaysia) paling awal masuk Pulau Sipadan dan Ligitan dengan membangun mercusuar dan konservasi penyu.
Belanda sementara itu hanya terbukti pernah singgah di Pulau Sipadan dan Ligitan, tapi tidak melakukan apapun.
Malaysia juga menang karena sudah melakukan berbagai penguasaan efektif terhadap kedua pulau.