Intisari-Online.com -Untuk mempertahankan diri dari musuh-musuh mereka, para penguasa di Asia Tenggara sudah punya senjata artileri.
Bahkan senjata artileri sudah ada sebelum orang Eropa datang.
Senjata hulu ledak ini diperkirakan diperkenalkan oleh Tiongkok.
Kehebatan penggunaan artileri terekam dalam sejarah Filipina.
Dalam buku Filipinos in History oleh National Historical Institute disebutkan senjata api pertama dibawa ke Sulu pada tahun 1390 oleh Raja Baginda Pangeran Muslim dari Sumatra.
Berdasarkan laporan Miguel López de Legazpi yang kemudian menjadi Gubernur Jendral Hindia Timur Spanyol (Filipina era kolonialisme), dikatakan penggunaan artileri di Filipina meluas hingga ke Luzon.
Mereka "memiliki artileri yang mereka tembakan dan selesaikan sendiri, juga bubuk dan amunisi," tulisnya kepada Raja Philip II.
Salah satu ahli artileri yang terkenal adalah Panday Pira, yang dikenal sebagai pandai besi (Panday) Muslim di Kapampángan, Filipina.
Ketika usianya 20 tahun pada 1508, ia datang ke Maynila (Kota Seludong) untuk mendirikan tempat penempaan meriam di Distrik San Nicolas modern.
Saat itu, ia bekerja atas perintah Rajah Sulayman untuk membuat meriam yang mengelilingi kerajaan dan di bagian tepi laut dari benteng yang menjaga muara Sungai Pasig.
Ukuran meriam yang dibuat Panday Pira sebesar milik orang Spanyol.
Meriam itu digunakan ketika pasukan Spanyol berlabuh di muara Sungai Pasig.
Saat itu, pasukan Spanyol dipimpin oleh Marsekal Martin de Goiti dan Don Juan de Salcedo.
Mereka langsung dihadang oleh tembakan meriam buatan Panday Pira.
Potongan artileri ini disembunyikan di balik jaringan rotan kayu dan anyaman bambu yang ditopang oleh gelondongan kayu benteng.
Masalahnya, mesiu yang digunakan Rajah Sulayman adalah jenis yang lebih rendah yang mereka pelajari dari Tiongkok.
Sementara armada Spanyol mampu mermborbardir benteng dan kota dengan artileri yang lebih unggul dan pasukannya yang disiplin.
Pertempuran itu dimenangkan oleh de Goiti pada Pertempuran Manila pada 24 Mei 1570.
Rajah Sulayman dan prajuritnya yang tersisa mundur menyeberangi sungai dan meninggalkan Maynila yang dibumihanguskan.
De Goiti memeriksa pemukiman dan benteng yang telah hancur lebur dalam serangan itu.
Dia juga menemukan gudang yang terbakar dekat kediaman Rajah Sulayman.
Anggota ekspedisi yang tidak diketahui namanya itu berpendapat dalam catatan perjalanan, "itu mengandung banyak besi dan tembaga, serta culverina dan meriam yang telah meleleh. Beberapa meriam kecil dan besar baru saja mulai ditempa. Ada cetakan tanah liat dan lilin, yang terbesar adalah untuk meriam sepanjang tujuh belas kaki, menyerupai culverin."
Kemudian De Goiti kembali ke markasnya di Panay di pertengahan kepulauan Filipina.
Dia tidak tinggal di Maynila karena takut pasukannya akan kelelahan untuk melawan jika Rajah Sulayman melakukan serangan balik. Artileri lawan dibawanya kepada De Legazpi.
Pasukan Spanyol membuat jenis meriam yang diambil itu untuk diuji ketat sebagai pemeriksaan, perbandingan, dan diadopsi.
Mereka mendapati bahwa artileri ini tidak retak atau pecah setelah ditembakkan terus-menerus, walau jumlah mesiu yang digunakan lebih banyak.
Bisa dibilang, meriam buatan Panday Pira lebih unggul dari meriam Spanyol yang dipasang di kapal.
Maka berangkatlah armada Spanyol yang baru meninggalkan Panay pada 20 April 1571.
Armada itu terdiri dari 27 kapal, 280 orang Spanyol, dan 600 sekutu mereka dari Bisaya dipimpin oleh Don Miguel Legazpi.
Maynila jatuh sehari sebelumnya dan ia membangun kembali kota itu yang kemudian dikenal sebagai Manila, ibu kota Filipina kini.
Demi mempertahankan kota barunya itu, Legazpi memanggil Panday Pira untuk membantu membuat meriam yang baik.
Namun, Panday Pira tidak dapat ditemukan karena ia melarikan diri ke pedalaman Provinsi Bulacan di Luzon Tengah, utara Manila, setelah pertempuran.
Dia kemudian menetap di Apalit, Pampanga, tidak jauh dari Bulacan.
Di sana Pira tinggal bersama keluarganya dan mendirikan bengkel pertama yang memproduksi mata bajak dan alat bajak pertanian lainnya. Dia juga melatih penduduk lain di sana.
Legazpi kemudian mengirim utusan ke Apalit untuk menghubungi dan mendapatkan Pira.
Pira ditawari hak-hak istimewa seperti kebebasan dari kewajiban pemerintah, agama, dan bebas hidup dan berbaur dengan orang-orang Spanyol.
Singkatnya, Pira menerima tawaran itu dan menjadi produsen meriam Spanyol, dan dibantu oleh anak-anaknya.
Legazpi meninggal pada 20 Agustus 1572 akibat serangan jantung dan jabatan Gubernur Jenderalnya diganti oleh Santiago de Vera.
Pada periode pemerintahan ini, Panday Pira membuat banyak artileri yang membantu ekspedisi militer Spanyol menuju Kalimantan dan Maluku, serta di benteng pertahanan Manila.
Tak lama, Panday Pira meninggal pada 1576 di usia 86 tahun.
Spanyol merugi karena tidak ada yang dapat membuat meriam sehebat Pira, termasuk anak-anaknya.
Pemerintah kolonial pun mengirimkan surat kepada Raja Spanyol untuk mengirim pembuat mereka.
Surat permohonan itu menulis, "Panday pira pembuat meriam kami sudah mati. Kami tidak dapat menemukan seorang pun di antara kami untuk menggantikannya."
Mengutip The Kahimyang Project, Jaime de Veyra, sejarawan Filipina mengatakan, "Meriam Panday Pira sama bagusnya dengan yang diproduksi di Spanyol dan menjadi pembuat meriam resmi untuk tentara Spanyol di Filipina. Usahanya berkontribusi banyak untuk pertahanan pulau-pulau tersebut dari bajak laut."