Intisari-Online.com – Salah satu fase terlucu anak adalah saat ia senang meniru. Si Upik tahu-tahu tertatih-tatih mengenakan sepatu high heeled ibunya. Atau si Buyung duduk di belakang kemudi kendaraan ayahnya, lalu mulai “mengemudi” sambil menirukan deru mesin.
Meniru adalah salah satu langkah awal dalam proses belajar. Ada masanya, di Indonesia dulu kendaraan buatan Jepang dijadikan cibiran. Kini mereka merajai dunia.
Lev S. Vygotsky, ahli psikologi perkembangan dari Soviet pernah menulis, “Melalui orang lain kita menemukan jati diri.” Tapi dengan berjalannya waktu, semua murid akan tiba pada titik di mana ia berani mengawali kemandiriannya, memisahkan diri dari gurunya. Ketika ia berani berucap, “Inilah aku.”
Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Joko Widodo, misalnya. Seperti ayahnya dulu merintis usaha mebel, usaha kateringnya juga dirintis dari nol, tanpa dukungan bahkan sempat ditentang orangtuanya. Di usia 27 tahun, ia sudah bisa disebut pengusaha sejati.
Kemandirian juga diperlukan dalam dunia kerja. Ketika kita menjadi karyawan, tak berarti kita tak lagi bersikap mandiri. Menilai industri yang digeluti, situasi dan posisi perusahaan tempat kita bekerja, sejauh mana Anda mampu mengaktualisasikan diri lewat pekerjaan; semuanya sah dilakukan karena Andalah bos kehidupan Anda sendiri. Kemandirian akan melahirkan keberanian untuk bertindak.
Sorotan “37 tahun Usia Tepat Pensiun” memberikan kunci sukses karyawan yang siap merebut peluang lebih indah “di luar sana” untuk melompat ke status “juragan”.
Simak artikel menarik lainnya di majalah Intisari edisi Desember 2014: ‘Dari Karyawan jadi Juragan’.