Kata salah satu kurator pameran, Mikke Susanto, Affandi telah meninggalkan arsip yang berjumlah begitu banyak. “Hingga kini, Affandi telah melahirkan data dan informasi yang berlimpah. Tercatat, setidaknya ribuan karya dan 400 judul artikel telah dihasilkan,” katanya. Saking banyak, arsip-arsip itu perlu dirangkai sebagai bagian dalam wacana seni rupa Indonesia secara simultan.
"Semua terkait dengan pokok pikiran, gagasan, topik, atau ide yang diekspresikannya selama ini. Inilah pameran retrospeksi 'khusus' yang mengetengahkan arsip-arsip Affandi. Bertujuan untuk menunjukkan efek sosial dan eksistensial seorang maestro," tulis Mikke dalam materi presentasinya malam itu.
Seluruh arsip-arsip itu nanti akan dipamerkan. Arsip berasal dari penelusuran pribadi Mikke serta dari koleksi Museum Affandi.
Selama 60 tahun berkarya, bagi Mikke, Affandi juga telah menghasilkan sejarah pemikiran tersendiri. Maka, seperti membaca biografi, pameran ini kelak juga menyajikan serangkaian sejarah pemikiran, cerita lucu, hingga publikasi pameran yang pernah dilakukan oleh Affandi.
“Tujuannya jelas untuk menunjukkan perannya sebagai ‘yang menang’ merebut jiwa zaman. Kisaran masa antara 1930–1990 bukanlah masa yang pendek untuk sebuah pekerjaan seni. Kerja penuh pertarungan dan pertaruhan ini akan menjelaskan upaya Affandi dalam berkarier seni,” kata dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.
Menurut penelusuran Mikke, Affandi juga nyaris berkeliling ke seluruh dunia. “Persinggahannya ke sejumlah negara ini bukan semata untuk menunjukkan eksistensi dan pengalaman, namun lukisan-lukisannya menjadi catatan antar-negara,” imbuhnya.
Dalam pameran yang akan dilangsungkan pada Juli 2022 itu, Mikke juga telah menyiapkan peta persebaran karya-karya Affandi. Di antaranya ada di beberapa negara, yakni: Rusia, Singapura, Hawai, India, Belanda, Amerika Serikat, Australia, Saudi Arabia, Indonesia, Brasil, Italia, dan Ekuador. Mak tak muluk bila menyebut lukisan Affandi dijuluki lukisan transnasional.
Beberapa hal tadi kemudian diramu Mikke dan Ignatia Nilu, sehingga menghasilkan tujuh hal yang bisa direspons oleh para seniman.
Eksplorasi Karya dan Panggung
Sebagai contoh, perjumpaan seniman dengan arsip telah menghasilkan karya rupa seperti karya Angki Purbandono. Angki adalah sosok seniman yang berkarya dengan mesin pemindai. Ketika ia menemukan lemari Affandi dan menemukan cangklong–pipa rokok—kuas, sandal jepit, tembakau, ia lantas ia memindai barang-barang itu dan dicetak dalam bentuk foto.
Ia berupaya menghadirkan Affandi melalui ragam jenis barang tinggalannya. Namun, sejauh ini, Angki baru memindai beberapa karya yang ada di Museum. Ia juga berharap bisa memindai barang-barang tinggalan Affandi yang disimpan keluarga.
Selain Angki, Digie Sigit, pelukis mural, juga akan menggunakan ruang publik, yakni Jalan Affandi (dulu disebut Jalan Gejayan) sebagai ruang pameran bersama puluhan street artist lain. Ia menyatakan bahwa metode berkaryanya–seni jalanan—sebetulnya dari dulu sudah dilakukan Affandi.
“Nah kami akan merespons ruang publik, kita akan menempatkan karya-karya kita di Jalan Affandi, di Gejayan. Pangestunya,” kata seniman yang tampak gemar merajah tubuh itu.
Ruang publik memang dimaksudkan jadi salah satu ruang pamer. Selain ruang publik, pameran kali ini juga akan mengombinasikan tiga ruang pamer sekaligus.
Bagi Ignatia Nilu, kurator kedua pameran, tantangan itu muncul sebab pandemi telah mengubah persepsi publik akan pameran seni. Maka itu, untuk menjawabnya, pameran ini juga akan merambah ranah lain. “Ruang museum ini tidak menjadi ruang satu-satunya, nanti kita mau expand, pameran ini membutuhkan tutur yang berbeda, misalnya ruang maya,” tandas Nilu.
Penulis | : | Aris Setiawan Rimbawana |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR