Meruwat Affandi Lewat Pameran Seni

Aris Setiawan Rimbawana
,
Agus Surono

Tim Redaksi

Kiri ke kanan: Maryati, istri Affandi; Affandi; dan Kartika, anak Affandi.
Kiri ke kanan: Maryati, istri Affandi; Affandi; dan Kartika, anak Affandi.

Gema musik hadrah mengumandang tiada putus ketika saya tiba di Museum Affandi, Senin petang, 23 Mei 2022. Saya hendak menghadiri peringatan wafatnya (haul) pelukis sohor, Affandi Koesoema (18 Mei 1907 – 23 Mei 1990).

Tampak di depan gedung museum tikar telah digelar dan beberapa kasur duduk rupa-warna ditata. Usai mengisi buku tamu, saya lantas mengisi salah satu tempat duduk yang kosong.

Beberapa saat kemudian, para seniman sohor Yogyakarta juga tampak berdatangan. Salah satunya adalah pelukis kondang, Djoko Pekik, yang datang sembari duduk di atas kursi roda. Meskipun tak lagi kuat berjalan, ia tampak sehat. Asap rokok tetap mengepul-ngepul dari mulutnya.

Djoko Pekik lantas duduk bersebelahan dengan Kartika Affandi, anak dari Affandi. Tampak pula Nasirun, pelukis sohor lainnya; Angki Purbandono, seniman yang berkarya dengan mesin pemindai; Butet Kartaredjasa, dan masih banyak lagi.

Kehadiran rekan seniman, para akademisi, dan juga publik membuat haul kali ini jadi semarak lagi. Hal yang tidak bisa dilakukan ketika pandemi tengah menggelombang. Selama tiga tahun terakhir, haul Affandi dilaksanakan dengan dihadiri hanya oleh kerabat.

Namun, karena belakangan pandemi telah melandai, haul kembali dilakukan dengan melibatkan khalayak.

Ide menggandeng khalayak itu muncul dari Kartina, cucu Affandi. Kata dia, Museum tinggalan kakeknya itu memang menjadi tempat berkumpul para kerabat yang selalu ramai. “Tapi ketika masa pandemi kok sepi sekali,” katanya.

Apalagi, ditambah ketika para kerabat hendak memindah beberapa lukisan Kartika dari galerinya di Pakem. Kelembaban menyebabkan kerusakan pada karya-karya lukis. Ia pun berpikir, bagaimana dengan karya-karya juga barang tinggalan kakeknya?

Suasana pembacaan doa untuk mendiang Affandi.
Suasana pembacaan doa untuk mendiang Affandi.

Ide berkembang. Kartina dan para kerabat lain jadi merasa punya tanggung jawab besar agar Affandi tetap lestari—bukan hanya dalam sosok tapi juga gagasan. Maka itu, sejak masih pandemi, kerabat meregistrasi seluruh karya sekaligus jadi ajang agar para kerabat juga saling berinteraksi lagi. “Kami mulai guyub lagi,” kata Kartina.

Maka agar Affandi tetap lestari, Museum Affandi juga ingin agar para seniman bisa berkarya kembali usai pandemi. “Kami ingin para seniman muda, bukan hanya umur tapi juga karya, untuk bisa kembali berkarya dalam masa yang sekarang ini, yang bisa diterjemahkan kembali untuk anak muda. Jadi anak muda merasa dekat kembali dengan sosok Affandi. Mereka yang paling paham publik seperti apa,” kata Kartina.

Tercetuslah ide pameran yang bakal digelar Juli–Agustus 2022, dan haul ini menjadi ajang pembuka. Pameran bertajuk 7 Malam Bersama Affandi itu dikuratori oleh Mikke Susanto dan Ignatia Nilu.

Arsip yang Melimpah

Kata salah satu kurator pameran, Mikke Susanto, Affandi telah meninggalkan arsip yang berjumlah begitu banyak. “Hingga kini, Affandi telah melahirkan data dan informasi yang berlimpah. Tercatat, setidaknya ribuan karya dan 400 judul artikel telah dihasilkan,” katanya. Saking banyak, arsip-arsip itu perlu dirangkai sebagai bagian dalam wacana seni rupa Indonesia secara simultan.

"Semua terkait dengan pokok pikiran, gagasan, topik, atau ide yang diekspresikannya selama ini. Inilah pameran retrospeksi 'khusus' yang mengetengahkan arsip-arsip Affandi. Bertujuan untuk menunjukkan efek sosial dan eksistensial seorang maestro," tulis Mikke dalam materi presentasinya malam itu.

Seluruh arsip-arsip itu nanti akan dipamerkan. Arsip berasal dari penelusuran pribadi Mikke serta dari koleksi Museum Affandi.

Selama 60 tahun berkarya, bagi Mikke, Affandi juga telah menghasilkan sejarah pemikiran tersendiri. Maka, seperti membaca biografi, pameran ini kelak juga menyajikan serangkaian sejarah pemikiran, cerita lucu, hingga publikasi pameran yang pernah dilakukan oleh Affandi.

“Tujuannya jelas untuk menunjukkan perannya sebagai ‘yang menang’ merebut jiwa zaman. Kisaran masa antara 1930–1990 bukanlah masa yang pendek untuk sebuah pekerjaan seni. Kerja penuh pertarungan dan pertaruhan ini akan menjelaskan upaya Affandi dalam berkarier seni,” kata dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.

Menurut penelusuran Mikke, Affandi juga nyaris berkeliling ke seluruh dunia. “Persinggahannya ke sejumlah negara ini bukan semata untuk menunjukkan eksistensi dan pengalaman, namun lukisan-lukisannya menjadi catatan antar-negara,” imbuhnya.

Dalam pameran yang akan dilangsungkan pada Juli 2022 itu, Mikke juga telah menyiapkan peta persebaran karya-karya Affandi. Di antaranya ada di beberapa negara, yakni: Rusia, Singapura, Hawai, India, Belanda, Amerika Serikat, Australia, Saudi Arabia, Indonesia, Brasil, Italia, dan Ekuador. Mak tak muluk bila menyebut lukisan Affandi dijuluki lukisan transnasional.

Beberapa hal tadi kemudian diramu Mikke dan Ignatia Nilu, sehingga menghasilkan tujuh hal yang bisa direspons oleh para seniman.

Eksplorasi Karya dan Panggung

Sebagai contoh, perjumpaan seniman dengan arsip telah menghasilkan karya rupa seperti karya Angki Purbandono. Angki adalah sosok seniman yang berkarya dengan mesin pemindai. Ketika ia menemukan lemari Affandi dan menemukan cangklong–pipa rokok—kuas, sandal jepit, tembakau, ia lantas ia memindai barang-barang itu dan dicetak dalam bentuk foto.

Foto bersama para seniman yang hadir pada Haul Affandi ke-32, Senin, (23/5/22)
Foto bersama para seniman yang hadir pada Haul Affandi ke-32, Senin, (23/5/22)

Ia berupaya menghadirkan Affandi melalui ragam jenis barang tinggalannya. Namun, sejauh ini, Angki baru memindai beberapa karya yang ada di Museum. Ia juga berharap bisa memindai barang-barang tinggalan Affandi yang disimpan keluarga.

Selain Angki, Digie Sigit, pelukis mural, juga akan menggunakan ruang publik, yakni Jalan Affandi (dulu disebut Jalan Gejayan) sebagai ruang pameran bersama puluhan street artist lain. Ia menyatakan bahwa metode berkaryanya–seni jalanan—sebetulnya dari dulu sudah dilakukan Affandi.

“Nah kami akan merespons ruang publik, kita akan menempatkan karya-karya kita di Jalan Affandi, di Gejayan. Pangestunya,” kata seniman yang tampak gemar merajah tubuh itu.

Ruang publik memang dimaksudkan jadi salah satu ruang pamer. Selain ruang publik, pameran kali ini juga akan mengombinasikan tiga ruang pamer sekaligus.

Bagi Ignatia Nilu, kurator kedua pameran, tantangan itu muncul sebab pandemi telah mengubah persepsi publik akan pameran seni. Maka itu, untuk menjawabnya, pameran ini juga akan merambah ranah lain. “Ruang museum ini tidak menjadi ruang satu-satunya, nanti kita mau expand, pameran ini membutuhkan tutur yang berbeda, misalnya ruang maya,” tandas Nilu.

Artikel Terkait