Versi cerita rakyat di Pati, sesungguhnya Mendut dan Pronocitro sudah sejak awal berhubungan.
Mereka merajut cinta sejak Mendut masih tinggal di kampung nelayan pesisir Pati, sebelum dirampas Pragola dan jatuh ke tangan Wiroguno.
Mengetahui perkembangan Mendut yang merajut hubungan lagi dengan Pronocitro, murkalah Wiroguno.
Hatinya dibakar api cemburu. Ia memerintahkan pencarian Pronocitro untuk ditumpas hidupnya.
Pemuda itu akhirnya tewas di tangan pasukan Wiroguno.
Jasadnya dikubur di hutan Ceporan, Gandu.
Kematian Pronocitro sampai juga ke telinga Mendut, yang masih tinggal di keputren rumah Wiroguno.
Mendut tak percaya. Wiroguno mengajak Mendut melihat makam Pronocitro untuk membuktikannya.
Sampai di lokasi, Mendut histeris. Wiroguno memaksanya menarik pulang.
Saat tarik-tarikan itulah, Mendut mencuri kesempatan melolos keris Wiroguno, lalu ditikamkan ke tubuhnya.
Mendut tewas tak jauh dari makam kekasihnya.
Versi cerita klasik lain yang kerap dipanggungkan lewat seni ketoprak, Pronocitro dan Mendut terbunuh saat lari dari cengkeraman Wiroguno.
Mereka dikejar tentara Wiroguno, ditemukan di pesisir "lautan" yang diduga Segoroyoso, laut buatan dari bendungan Kali Opak.
Di tempat itulah keduanya terbunuh, dan kemudian dimakamkan satu liang di Gandu, sebelah utara Segoroyoso.
Kisah serupa jadi penutup di bagian pertama trilogi novel Roro Mendut karya Romo Mangun.
Karya sejarah klasik Jawa era Mataram yang disusun HJ de Graaf tak menyinggung kisah Roro Mendut ini.
Namun tentang sepak terjang Tumenggung Wiroguno diulas cukup mendetail di dua era kekuasaan yang dilaluinya, masa Sultan Agung dan penggantinya, Amangkurat I.
KOMENTAR