Pegawai VOC Jadi Langganan, Begini Kisah Menjamurnya Rumah Bordil saat Awal Batavia Berdiri Tahun 1619 hingga 'Melahirkan' Pelacur Separuh Portugis yang Moncer

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

(Ilustrasi) Rumah Bordil di Batavia
(Ilustrasi) Rumah Bordil di Batavia

Intisari-Online.com-Seperti bangsa Eropa lainnya, faktor kedatangan Belanda ke Indonesia pada akhir abad ke-16 adalah untuk mencari rempah-rempah.

Kekayaan rempah-rempah yang dimiliki Indonesia kemudian memicu persaingan antara Belanda dengan bangsa Eropa lain yang lebih dulu sampai di kepulauan nusantara.

Bahkan, ambisi mereka untuk menguasai rempah-rempah juga menimbulkan persaingan antarkelompok atau kongsi dagang dalam satu bangsa.

Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang berdirinya kongsi dagang VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie).

Pada abad ke 17, Batavia telah menjadi daerah yang banyak dihuni oleh lelaki Eropa berkulit putih.

Kota Batavia berdiri pada tahun 1619, tapi tujuh tahun setelahnya, 1625, pelacuran atau rumah bordil sudah ada.

Leonard Blusse menuliskan ini dalam bukunya berjudul 'Persekutuan Aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia'. Buku itu diterbitkan LKIS Jogjakarta.

Dalam sebuah catatan ke dewan kota, Hendrik menulis bahwa pada 13 Agustus 1625 ada seorang perempuan pribumi bernama Maria datang menghadap dewan.

Dia mengadukan suaminya, Manuel yang memaksa Maria dan budak perempuannya untuk melacur.

Rupanya Manuel mengubah rumahnya jadi tempat pelacuran.

Pelanggannya adalah pegawai VOC. Lalu di tahun yang sama adapula rumah pelacuran milik Valdero.

Dia memelihara budak-budak perempuan. Setiap hari para budak disuruh melacur.

Penghasilannya sehari sekitar setengah riall. Atau paling tidak 3/8 riall.

Bahkan, masih dalam bukunya, Leonard Blusse menulis bahwa pada tahun 1642 VOC mengeluarkan peraturan soal pelacuran. Tapi peraturannya tak jelas.

Dalam aturan itu disebut setiap keluarga Kristen dilarang mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu.

Lalu melarang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah. Tapi tak dijelaskan siapa perempuan baik-baik itu.

Semenjak aturan pelacuran muncul, rumah-rumah lacur pun menjamur.

Hendrik E Niemeijer menjelaskan ini dalam bukunya berjudul 'Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII'.

Dalam bukunya Hendrik menulis beberapa rumah lacur terkenal, seperti In den Applaboom (Pohon Apel).

Pemiliknya seorang Jerman bernama Jan Van Dansijcq. Lalu De Berebijt (Gigitan Beruang) milik Hubertt Yselstein.

Selain itu ada juga rumah pelacuran yang dikelola perempuan asia. Seperti rumah lacur milik Sara Van Lamay dan Sara van Bali.

Di awal abad XVII, muncul pula nama pelacur terkenal, yakni Adriana Augustijn, Anna de Rommer, Dominga Metayeel, dan Lysbeth Jansz.

Dari namanya pelacur ternama ini adalah Mestizo, separuh Portugis.

Tapi Hendrik tak menjelaskan itu dalam bukunya secara gamblang.

Namun, portugis memang sudah masuk ke Nusantara satu abad sebelum VOC masuk, abad XVI.

Makanya di abad XVII, tak heran apabila anak-anak keturunan portugis sudah banyak.

Begitupula budak-budak yang kemudian dibaptis memakai nama Portugis pun pasti sudah banyak jumlahnya di Abad XVII.

Baca Juga: VOC Sampai Geleng-geleng Tak Percaya Melihatnya, Inilah Kondisi Mengerikan Ratusan Prajurit Mataram yang Dihukum Sultan Agung Gara-gara Kalah Berperang

(*)

Artikel Terkait