Advertorial
Intisari-Online.com -Seperti bangsa Eropa lainnya, faktor kedatangan Belanda ke Indonesia pada akhir abad ke-16 adalah untuk mencari rempah-rempah.
Kekayaan rempah-rempah yang dimiliki Indonesia kemudian memicu persaingan antara Belanda dengan bangsa Eropa lain yang lebih dulu sampai di kepulauan nusantara.
Bahkan, ambisi mereka untuk menguasai rempah-rempah juga menimbulkan persaingan antarkelompok atau kongsi dagang dalam satu bangsa.
Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang berdirinya kongsi dagang VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie).
Pada awal berdirinya hingga tahun 1610, terdapat Dewan Tujuh Belas yang bertugas menjalankan berbagai urusan VOC.
Namun, dewan ini tidak dapat menjalankan tugasnya secara cepat dan efektif karena kedudukannya berada di Amsterdam.
Berawal dari permasalahan ini, kemudian diciptakan jabatan baru dalam VOC, yaitu gubernur jenderal, yang bertugas mengendalikan kekuasaan di negeri jajahan Belanda.
Gubernur jenderal VOC yang pertama adalah Pieter Both, yang langsung menjalankan tugasnya.
Pada 1610, Pieter Both mendirikan pos perdagangan VOC di Indonesia yang pertama, yaitu di Banten.
Di tahun yang sama, ia pergi ke Jayakarta (Jakarta) dan berhasil menjalin hubungan baik dengan penguasanya, Pangeran Wijayakrama.
Pada 1611, Pieter Both mengadakan perjanjian dengan Pangeran Wijayakrama guna pembelian sebidang tanah yang berlokasi di sebelah timur muara Ciliwung.
Tanah inilah cikal bakal Batavia, yang kemudian menjadi pusat kekuasaan VOC di Indonesia.
Prostitusi di Batavia
Melansir Kompas.com, di Batavia, prostitusi sudah dimulai sejak JP Coen membakar Jayakarta dan mendirikan kota baru di atas reruntuhannya.
Penelitian Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSDR-LIPI) tentang sejarah prostitusi di Jakarta menunjukkan, sejak masa inilah sistem pergundikan yang jadi cikal bakal prostitusi di Jakarta dimulai.
Ridwan Saidi, budayawan, mengatakan, konsentrasi prostitusi pertama di Batavia adalah di kawasan Macao Po, disebut demikian karena pekerja seksnya berasal dari Makao, di sebuah rumah bertingkat di seberang Stasiun Beos.
Mereka didatangkan oleh para germo Portugis dan China untuk menghibur tentara Belanda.
Leonard Blusse dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC memaparkan, Gubernur Jenderal JP Coen menyadari bahwa manusia tak bisa hidup tanpa wanita.
JP Coen pun harus menghadapi keharusan menyediakan, "perawan-perawan Belanda yang sudah mateng kawin." Perawan-perawan itu tak lain adalah untuk karyawan JP Coen di Timur, termasuk Batavia.
Namun, pada kenyataannya noni-noni Belanda itu gampang merana berada di daerah tropis.
Sejak 1635, dewan komisaris mengubah taktik dan mengikuti cara-cara kolonisasi Portugis, menggalakkan perkawinan dengan perempuan Asia untuk menciptakan perempuan campuran yang patuh khususnya di Batavia.
Peraturan kala itu, seorang pria yang menikah dengan perempuan hitam pribumi tak boleh membawa keluarganya ke Belanda.
Peraturan itu membuat banyak pegawai Kompeni lebih suka hidup dengan nyai-nyai sehingga, kapan saja ia memutuskan kembali ke Belanda, ia bisa membebaskan diri dari ikatan dengan gundik-gundik dan anak-anaknya untuk kemudian di negeri sendiri memilih istri yang diimpi-impikan.
Sistem pergundikan ini sudah ada sejak sebelum Belanda tiba, dan menurut Blusse, sistem ini ditentang para pembesar gereja di Batavia.
Sistem pergundikan itu menghasilkan sejarah panjang keberadaan para nyai.
Kembali ke Macao Po, seiring dengan perkembangan Batavia, prostitusi pun meluas ke Gang Mangga, kini sekitaran Jalan Pangeran Jayakarta.
Kompleks prostitusi Gang Mangga akhirnya kalah bersaing dengan rumah bordil Soehian yang dibikin orang China.
Pemerintah Belanda menutup tempat itu namun kemudian prostitusi tumbuh kembali di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar).
(*)