Intisari-Online.com -
Pertanyaan:
Salam sejahtera bagi kita semua.
Perkenalkan nama saya Eunike, di Brebes. Saya memiliki permasalahan hukum yang ingin saya ceritakan pada bapak/ibu sekalian. Baru-baru ini saya telah meminjamkan uang kepada teman saya sejumlah Rp20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), guna kepentingan pribadi dari teman saya tersebut. Sebagai jaminannya, teman saya menyerahkan satu buah televisi 29 inch merk Samsung pada saya. Setelah jangka waktu peminjaman berakhir berdasarkan perjanjian yang telah disepakati oleh kami, teman saya tidak kunjung mengembalikan uang pinjamannya, sehingga saya berniat untuk menjual televisi tersebut sebagai pelunasan utangnya. Yang ingin saya tanyakan, apakah menjual televisi yang berukuran 29 inch merk Samsung diperbolehkan menurut hukum?
Atas perhatian dari bapak/ibu sekalian, saya ucapkan terima kasih.
Jawaban:
Salam sejahtera.
Terima kasih Ibu Eunike untuk pertanyaannya.
Perlu kami jelaskan, bahwa Hukum Indonesia tidak memperbolehkan ibu selaku kreditur menjual secara langsung barang yang dijadikan jaminan oleh debitur (teman ibu), baik itu barang yang memiliki hak istimewa sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UU 42/1999) maupun yang tidak memiliki hak istemewa. Yang dimaksud dengan hak istimewa adalah hak yang memberikan kedudukan kepada kreditur pemegang hak tersebut lebih diutamakan dari kreditur lainnya atas manfaat barang yang menjadi jaminan dimaksud. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 42/1999, yang menyebutkan:
“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia,sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya”
Jika dahulu pada saat awal terjadinya perikatan hutang-piutang antara ibu dengan teman ibu tidak melibatkan lembaga fidusia, yang memberikan hak fidusia kepada ibu sebagaimana diatur dalam UU 42/1999 atas satu buah televisi 29 inch merk Samsung, maka untuk menjual jaminan tersebut, ibu harus mendapatkan pengakuan bahwa teman ibu tidak dapat lagi untuk memenuhi kewajibannya dan teman ibu juga harus memberikan persetujuan tertulis secara sukarela untuk pengalihan satu buah televisi 29 inch merk Samsung tersebut, namun jika teman ibu tidak bersedia untuk melakukannya, maka ibu harus mengajukan gugatan terhadap teman ibu terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang isinya adalah sebagai berikut:
“Penggantian biaya, ganti rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”
Dimana, apabila gugatan yang diajukan oleh ibu cukup beralasan dan dikabulkan oleh Pengadilan sampai dengan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewesjde), ibu dapat meminta ketua Pengadilan untuk menegor teman ibu supaya ia melaksanakan kewajibannya kepada ibu. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 196 Herziene Indonesisch Reglement (HIR), yang menyebutkan:
“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai memenuhi keputusan itu dengan baik, maka pihak yang dimenangkan mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada pasal 195 ayat (1), baik dengan lisan maupun dengan surat, supaya keputusan itu dilaksanakan. Kemudian ketua itu akan memanggil pihak yang kalah itu serta menegurnya, supaya ia memenuhi keputusan itu dalam waktu yang ditentukan oleh ketua itu, selama-lamanya delapan hari”
Jika setelah ditegor oleh ketua Pengadilan, teman ibu tetap tidak bersedia untuk memenuhi kewajibannya kepada ibu, maka ibu dapat mengajukan supaya terhadap barang satu buah televisi 29 inch merk Samsung yang dijaminkan kepada ibu untuk disita oleh Pengadilan. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR, yang menyebutkan:
“Jika sudah lewat waktu yang ditentukan itu, sedangkan orang yang kalah itu belum juga memenuhi keputusan itu, atau jika orang itu, sesudah dipanggil dengan sah, tidak juga menghadap, maka ketua, karena jabatannya, akan memberi perintah dengan surat, supaya disita sekian barang bergerak dan jika yang demikian tidak ada atau ternyata tiada cukup, sekian barang tak bergerak kepunyaan orang yang kalah itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti jumlah uang tersebut dalam keputusan itu dan semua biaya untuk melaksanakan keputusan itu”
Setelah barang tersebut disita oleh Pengadilan, maka ibu dapat mengajukan supaya pengadilan menjual jaminan tersebut melalui mekanisme lelang, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 200 ayat (1) HIR, menyebutkan:
“Penjualan barang sitaan dilakukan dengan perantaraan kantor lelang atau, menurut pertimbangan ketua atas keadaan, oleh juru sita itu atau orang yang cakap dan dapat dipercaya, ditunjuk oleh ketua dan tinggal di tempat penjualan itu atau di sekitar tempat itu”
Apabila ternyata dahulu, pada saat awal terjadinya perikatan hutang-piutang antara ibu dengan teman ibu telah melibatkan lembaga fidusia, yang memberikan hak fidusia kepada ibu sebagaimana diatur dalam UU 42/1999 atas satu buah televisi 29 inch merk Samsung, maka setelah teman ibu tidak dapat memenuhi kewajibannya sampai dengan waktu yang ditentukan oleh ibu dengan teman ibu, maka ibu berhak untuk langsung melakukan pelelangan terhadap satu buah televise 29 inchi merk Samsung tersebut melalui balai lelang Negara maupun balai lelang swasta, tanpa harus mengajukan gugatan perdata terlebih dahulu. Hal ini merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf a dan huruf b No. 42/1999, menyebutkan:
“Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
“Sertifikat Jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
Namun, ibu dapat menjual satu buah televise 29 inchi merk Samsung tersebut tanpa melalui mekanisme lelang sebagaimana kami jelaskan di atas, jika antara ibu dan teman ibu menyepakatinya. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c UU 42/1999, menyebutkan:
“Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”
Disamping ketentuan Pasal 372 KUHP di atas, Mahkamah Agung sampai dengan saat ini, telah mengakui perbuatan yang demikian sebagai perbuatan pidana melalui Yurispridensi Mahkamah Agung No. 618 K/Pid/1984 tanggal 17 April 1985, yang kaidah hukumnya menyebutkan:
“Penjualan barang-barang jaminan milik saksi oleh Terdakwa tanpa izin saksi merupakan penggelapan”
Dan jika peristiwa pidana yang demikian terjadi sampai memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewesjde), maka teman ibu juga dapat menempuh jalur hukum secara perdata, yakni dengan mengajukan gugatan terhadap ibu atas dasar putusan pidana yang telah ada tersebut, sebagai bukti bahwa telah terjadi suatu perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa dampak kerugian bagi teman ibu. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, yang menyatakan sebagai berikut:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”
Oleh karena itu, guna menghindari konsekuensi hukum dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum, sebaiknya ibu lebih teliti dan bijaksana dalam mengambil keputusan.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
(LBH Mawar Saron)
DASAR HUKUM:
REFERENSI:
Yurispridensi Mahkamah Agung No. 618 K/Pid/1984 tanggal 17 April 1985