Presiden BJ Habibie memberikan ruang bagi siapapun yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat umum maupun unjuk rasa atau demonstrasi.
Namun, bagi mahasiswa yang akan melakukan aksi unjuk rasa, terlebih dulu diharuskan untuk mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan lokasi di mana demonstrasi dilakukan.
Hal ini dilakukan karena mengacu dengan UU No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di perwakilan rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap, yaitu dari yang tadinya berjumlah 75 orang menjadi 38 orang.
Dahulu, ABRI terdiri dari empat angkatan, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian RI.
Namun, sejak tanggal 5 Mei 1999, Polri telah memisahkan diri dari ABRI dan berganti nama menjadi Kepolisian Negara, istilah ABRI juga berubah menjadi TNI.
Pada masa pemerintahan BJ Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum, di mana reformasi hukum ini disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Tindakan BJ Habibie terkait reformasi hukum ini pun disambut dengan baik oleh masyarakat luas, karena reformasi hukum ini mengarah kepada tatanan yang diharapkan masyarakat.
Selama masa Orde Baru, karakter hukum yang berlaku di Indonesia cenderung bersifat konservatif, ortodoks, dan elitis.
Hukum ortodoks sendiri merupakan hukum yang bersifat tertutup, sehingga masyarakat tidak memiliki peran sama sekali di dalamnya.
Hukum pada masa Orde Baru ini pun kemudian dianggap sebagai bentuk hukum yang mengebiri Hak Asasi Manusia (HAM).
Oleh karena itu, hukum di era Orde Baru tidak lagi diterapkan pada masa reformasi, karena di era ini, BJ Habibie ingin menciptakan hukum yang dapat menjamin keamanan perlindungan HAM.
Itulah sejarah reformasi di Indonesia dan dampaknya.
(*)
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR