Intisari-Online.com – Sama seperti ibu mertuanya dan bibinya al-Kayzuran, Zubaidah binti Ja’far pun menghilang dari sejarah.
Tanggal lahirnya tidak diketahui, tetapi setidaknya dia satu tahun lebih muda dari calon suaminya, Harun al-Rashid. Jadi, tahun kelahirannya diperkirakan sekitar 766.
Zubaidah adalah putri Ja’far, saudara tiri al-Mahdi, khalifah Abbasiyah ketiga, yang istri favoritnya adalah Khayzuran, dan Salsal, kakak perempuan Khayzuran.
Calon suaminya, Harun, adalah putra Mahdi dan Khayzuran, menjadikan mereka sepupu pertama.
Sekitar tahun 781/782, Zubaidah menjadi istri sah Harun al-Rashid.
Seperti kebiasaan, dia memiliki harem selir dan beberapa istri sah lainnya.
Bahkan, Zubaidah sendiri pernah menghadiahi suaminya sepuluh budak perempuan sebagai permintaan maaf.
Sayangnya, Zubaidah tetap tidak memiliki anak selama beberapa tahun.
Pada tahun 786, Harun menggantikan saudaranya sebagai Khalifah ke-5 dari Kekhalifahan Abbasiyah.
Pada malam yang sama, salah satu gadis budak melahirkan seorang putra, dan dia meninggal tak lama setelah itu.
Zubaidah dilaporkan membantu membesarkan bocah itu, yang bernama al-Ma’mun.
Pada saat itulah, Zubaidah juga akhirnya hamil, dan dia melahirkan anak tunggalnya, seorang putra bernama al-Amin, pada tahun 787.
Terlepas dari para wanita di harem yang datang dan pergi, Zubaidah memiliki tempat khusus dengan Harun.
Selain harem, Zubaidah memiliki rombongan besar kasim dan gadis,dan dia mencurahkan waktunya untuk melatih mereka.
Dia dilaporkan memiliki lebih dari 100 gadis budak yang ahli dalam melantunkan Al-Qur’an dan dengungan terus bergema dari istananya.
Zubaidah juga memiliki seekor kera peliharaan, yang mengenakan ikat pinggang dan pedang, dan memiliki 30 orang laki-laki untuk menunggunya.
Dia meminta semua orang yang datang ke istana untuk memberi penghormatan kepadanya untuk juga mencium tangan monyet.
Ini berlangsung sampai salah satu Jenderal tertentu marah atas permintaan tersebut dan dia memotong monyet itu menjadi dua dengan pedangnya.
Meski Jenderal itu tidak dihukum oleh Harun, namun Zubaidah menjadi patah hati.
Ketika putra Zubaidah berusia lima tahun, dia secara resmi dicalonkan sebagai ahli waris Harun, tetapi beberapa orang menganggapnya terlalu muda.
Meski demikian, dia menjadi ahli waris, maka pendidikan dan saudara tirinya menjadi perhatian utama Zubaidah.
Dia memilih guru dengan cerman, dan hukuman tidak jarang dilakukan jika anak laki-laki itu berperilaku tidak baik.
Suatu ketika Ma’mun terlambat masuk pelajaran, dia mendapat tujuh cambukan.
Seiring berjalannya waktu, persaingan antara dua bersaudara itu tumbuh, dan Zubaidah menjadi semakin terlibat dalam hal ini.
Ma’mun akhirnya dinominasikan sebagai pewaris kedua setelah Amin, dan Harun mempertimbangkan untuk menjadikannya pewaris pertama, yang sangat memprihatinkan Zubaidah.
Situasi ini tidak terbantu dengan kehadiran putra ketiga, yang bernama Qasim, yang dinominasikan sebagai orang ketiga dalam garis suksesi pada tahun 802.
Pada tanggal 24 Maret 809, Harun meninggal karena sakit.
Putra Zubaidah, Amin, telah mempersiapkan kematian ayahnya selama sekitar delapan bulan, jadi mungkin saja dia sakit cukup lama.
Mereka telah menyiapkan surat instruksi untuk peristiwa kematian Harun.
Setelah menerima kabar kematian suaminya, Zubaidah mengumpulkan semua putri semua khalifah dan semua wanita Hasyim untuk sesi berkabung publik.
Putra Zubaidah yang berusia 22 tahun, Amin, menggantikan ayahnya sebagai Khalifah ke-6 Kekahlifahan Abbasiyah.
Saudara-saudaranya kemudian dikeluarkan sebagai pewaris demi putranya sendiri Musa, yang menyebabkan hubungan yang mmeburuk.
Amin segera mulai menarik diri dari haremnya dan keluarganya dan menghabiskan lebih banyak waktu dengan para kasim, dan perilakunya ini menjadi pembicaraan di kekaisaran.
Zubaidah berusaha mengalihkan perhatian Amin dari pada kasim dengan menghadirkan wanita paling berbakat dan cantik yang dikenakan kostum anak laki-laki, dan wanita berkostum itu menjadi populer.
Namun, Ma’mun memberontak, dan Amin menanggapi itu dengan menyandera istri dan dua putranya.
Perang berikutnya, dua putra terkecil Zubaidah dan Amin juga disandera.
Para pemberontak berhasil menggulingkan Amin dan menyatakan Ma’mun sebagai pemimpin, serta merebut kota Baghdad.
Lanjutan kisahnya, Amin berada di kapal terbalik dan ditemukan saat berenang ke pantai, kepalanya dipenggal dan ditombak di gerbang kota.
Zubaidah sangat berduka atas kematian putranya, dia mengenakan pakaian yang terbuat dari kain hitam dari rambut.
Dia menulis syair-syair panjang dan salah satunya sampai ke Ma’mun yang membalasnya dengan janji untuk menjadi putra sejati baginya.
Zubaidah akhirnya kembali ke ibu kota, propertinya dikembalikan padanya, dan Ma’mun tidak memaksanya untuk bergabung.
Pada pertemuan pertamanya dengan Ma’mun, melansir History of Royal Women, laki-laki itu mengaku tidak bertanggung jawab atas kematian Amin.
Dan Zubaidah mengatakan kepada Ma’mun, “Ada hari di mana kalian berdua akan bertemu lagi, dan saya berdoa kepada Allah agar dia mengampuni kalain berdua.”
Selanjutnya, hubungan mereka pun berkembang semakin ramah.
Musa meninggal pada tahun 823, sedangkan Abdallah hidup untuk meneruskan garis keturunannya.
Zubaidah menjadi terkenal karena filantropinya, yang membentang jauh dan luas.
Dia terkenal menyediakan sumber air di sepanjang jalan ke Mekah untuk para peziarah dan pergi haji lima kali ke Mekah sendiri.
Penyediaan sumber air ini tidak mudah karena medannya bergunung-gunung dan bebatuan keras dan akhrinya menghabiskan biaya hampir 2 juta dinar.
Zubaidah meninggal pada 10 Juli 831 pada masa pemerintahan Ma'mun.
Sayangnya, dia sedang jauh dari ibu kota pada saat itu, dan kepala pelayat di pemakamannya mungkin adalah cucunya yang masih hidup, Abdallah.
Sayangnya, penyebab kematiannya belum dicatat, atau tempat penguburannya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari