Khususnya pamor tentara infanteri Jepang yang betul-betul dapat muncul dan hilang seperti ninja, ditambah taktik dan strategi perang hutan yang terkenal, ternyata dalam waktu tak lama, tentara Gurkha di Malaya dan Myanmar sudah dapat menirunya. Bahkan dalam salah satu serangan balik, tentara Gurkha ini memakai taktik buru dan sergap yang dipelajari dari tentara Jepang. Alhasil, tentara Jepang kelabakan diserang pasukan siluman Gurkha yang tak kalah ajaibnya dengan infanteri ninja Jepang.
Sesuai PD II, apalagi sejak Inggris cukup banyak menganugerahkan penghargaan kepada tentara Gurkha sebagai pahlawan perang, lalu ditambah kisah nyata dengan bumbu segar tentang kehebatan tembakan senapan, runcingnya mata bayonet dan kukri Gurkha, serta semangat perang Gurkha yang dianggap macam "mesin" perang infanteri, nama Gurkha menjadi bagian dari legenda "manusia perang" selama PD I dan II. Dampaknya bagi masyarakat Gurkha sendiri, perang yang merupakan ajang pertaruhan nyawa, makin menarik sebagai ajang pencarian nafkah dan penentuan masa depan mereka.
Suka mabuk dan mengejar wanita
Orang Gurkha sendiri di tanah asalnya, Nepal, bukanlah golongan ksatria (prajurit), melainkan termasuk golongan waisya (pedagang, petani, atau peternak). Namun sejak invasi Inggris ke Nepal, orang Gurung dan Magar ini tetap tegak dan nekat melawan. Pada akhirnya, jiwa ksatria mendominasi penampilan orang-orang Gurkha ini. Mereka nyaris menanggalkan sama sekali ciri waisya mereka.
Tapi seperti juga manusia biasa lainnya, orang Gurkha bukannya tanpa cacat atau kelemahan. "Orang Gurkha itu memiliki sikap buruk juga," ujar seorang pelatih keprajuritan Inggris. "Mereka amat mudah terjerumus menjadi peminum alkohol, mudah sekali terlibat dalam perjudian, selain amat suka mengejar wanita."
Ada kisah tentang kelemahan orang Gurkha ini. Dalam suatu pertempuran, pasukan Gurkha sudah berminggu-minggu terjepit pasukan komando Jerman. Sekali waktu, Inggris berhasil menerjunkan perbekalan, isinya antara lain minuman keras. Malamnya, para prajurit Gurkha itu mabuk-mabukan sambil menyanyikan lagu-lagu kampung halamannya. Keesokan harinya mereka bertempur dengan semangat perang di hari pertama.
Orang Gurkha juga dikenal punya selera humor yang lumayan. Seorang perwira Inggris pernah kelabakan karena tercebur ke dalam lubang perlindungan dan dihujani peluru dan mortir. Di puncak kecemasan itu, tiba-tiba terdengar suara cekikian di dekatnya. Ternyata ada seorang serdadu Gurkha sedang asyik duduk dan mengintip musuh. "Lucu sekali, Pak," ujar si serdadu Gurkha itu, "kita tak bisa keluar, mereka tak berani masuk. Hi ... hi ... hi .... Bapak tak usah takut, musuh juga takut dan tidak berani menyerang kita."
Pernah juga satu pasukan Gurkha yang sedang menjadi barisan kehormatan tiba-tiba bubar berantakan di ujung jalan. Mereka tertawa dengan hebatnya. Rupanya mereka tak sanggup menahan diri melihat sepasang unta sedang kawin. Padahal pasukan Gurka terkenal sangat disiplin saat menjadi barisan kehormatan. "Untung di medan perang belum pernah ada unta kawin," komentar seorang mayor Inggris kehabisan akal.
Peranannya semakin berkurang
Peran prajurit Gurkha dalam peperangan modern boleh jadi akan semakin berkurang. Seperti halnya dalam Perang Teluk yang bak etalase persenjataan canggih super modern, pemerintah Inggris toh tak memanfaatkan prajurit gila perang ini. Namun, sejarah tetap akan mencatat adanya orangorang gunung dari kaki Himalaya yang selama 1,5 abad mampu mencengangkan dunia dengan kemampuan perangnya yang mengagumkan.
Tapi orang Gurkha sendiri tetap saja tidak tahu mengapa mereka bisa memiliki keberanian berperang yang mengherankan lawan-lawannya. Mengapa mereka berani terus berdiri dan menembaki musuh, sementara di sekelilingnya puluhan rekannya sudah tewas bergelimpangan. Mengapa seorang diri mereka bisa begitu nekat merampas tiga tank Jerman hanya dengan berbekal senapan sederhana dan sebilah kukri.
"Satu sikap jelek kami, jangan membuat kami marah," ujar Lachchiman Gurung, yang kehilangan sebelah tangannya akibat menangkap granat dengan tangan kiri sambil terus menembaki 30-an tentara Jepang hingga laras senapannya merah membara.
"Kami pemberani? Tidak, kami juga ingin hidup. Di medan perang, sebaiknya kita berusaha hidup terus, makanya musuh itu harus dimatikan dulu," ujar seorang prajurit Gurkha yang berhasil lolos dari tahanan Jepang. Prajurit ini melarikan diri menembus hutan sendirian selama dua bulan. Lalu ia melapor ke pos terdekat dan kembali memimpin penyerangan balasan dengan rute pelarian yang diingatnya tanpa cacat cela.
Sekali waktu, saat teknik strategi dan peralatan perang sudah amat maju dan canggih, prajurit macam prajurit Gurkha barangkali tak lagi banyak berperan. Saat itu boleh jadi para prajurit Gurkha ini akan kembali ke kampung halamannya masing-masing, dan kembali hidup layak sebagai manusia biasa. Puluhan atau ratusan jasad prajurit Gurkha yang tewas dalam pelbagai medan pertempuan hanya akan tinggal dalam kenangan rekan-rekan dekatnya saja.
Tatkala diajukan pertanyaan, "Mengapa menjadi tentara bayaran?", seorang prajurit Gurkha menjawab balik dengan pertanyaan, "Apa ada pekerjaan lain yang sama baiknya?" Orang Gurkha memang gila perang, karena di sanalah mereka bisa mengembangkan bakat dan kemampuannya. Tapi mereka bukannya antiperdamaian, meski bumi yang damai dan tanpa perang mungkin tidak akan menyisakan secuil peranan pun bagi pengembangan kemampuan prajurit Gurkha. Atau boleh jadi, eksistensi prajurit Gurkha adalah pertanda bahwa bumi tak akan pernah lepas dari peperangan? (Intisari)
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR