Advertorial

Bung Karno Pernah Nyaris Picu 'Perang Dunia III' tapi Untung Pak Harto Berhasil Menggagalkannya

Agustinus Winardi
Moh. Habib Asyhad
Agustinus Winardi
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Bung Karno Pernah  Nyaris Picu Perang Dunia III Tapi Untung  Pak Harto Berhasil Menggagalkannya
Bung Karno Pernah Nyaris Picu Perang Dunia III Tapi Untung Pak Harto Berhasil Menggagalkannya

Intisari-Online.com -Tahun 1964/1965, Bung Karno kembali menggelorakan semangat revolusioner bangsa Indonesia ke dalam konfrontasi yang akhirnya mengguncang dunia internasional.

Konfrontasi itu biasa kita kenal dengan operasi Ganyang Malaysia.

Pengaruh konfrontasi yang sudah menimbulkan korban jiwa itu tak hanya antara Indonesia-Malaysia, tapi juga sampai ke kancah politik dan stabilitasi internasional.

Infiltrasi militer dan gerilya ke wilayah Malaysia (Serawak) langsung mengaktifkan negara-negara persemakmuran Inggris seperti Australia, Inggris, Selandia Baru, India dan lainnya menurunkan ribuan pasukannya.

AS sendiri yang mempunyai perjanjian keamanan dengan Australia juga turut terlibat serius dan siap memberi bantuan militer.

Bagi AS, Indonesia yang saat itu cenderung berkiblat ke Blok Timur posisi posisi strategisnya jelas akan mengancam Blok Barat.

Baca juga:Seperti Siluman, Personel Kopaska Ini Seorang Diri Tanpa Senjata Menyusup ke Kapal Perang Malaysia dan Mengusirnya

Apalagi saat itu, AS mulai berperang di Vietnam Selatan dan sekaligus berusaha keras membendung komunis Vietnam Utara yang didukung China serta Rusia.

Jika konfrontasi Indonesia-Malaysia yang dimotori Bung Karno berubah menjadi perang terbuka, perang itu akan memicu Perang Dingin menjadi Perang Dunia Ketiga.

Tapi AS ternyata belum siap untuk itu dan berusaha menyelesaikan konfrontasi itu secara damai dengan melobi Bung Karno serta mengerahkan agen-agen CIA.

Akhirnya berkat peran Letjen Soeharto dan Kolonel LB Moerdani yang diam-diam melancarkan operasi intelijen konflik Malaysia-Indonesia bisa berakhir secara damai.

Keberhasilan Pak Harto itu bisa dikatakan telah mencegah PD III yang dipicu oleh Bung Karno.

Baca juga:Nama Bung Karno Ternyata Pernah Diruwat Gara-gara Sewaktu Masih Kecil Sering Sakit-sakitan

Bung Karno saat itu memang sedang digambarkan sebagai pemimpin revolusioner yang ‘demam perang’.

Pasalnya setelah kemenangan tentara RI dalam Operasi Trikora, Bung Karno ingin berperang lagi demi mengganyang Malaysia kendati pasukan RI belum siap.

AS bahkan menggambarkan Bung Karno sebagai pemimpin negara yang sombong dan secara terang-terangan memusuhi AS.

Kekhawatiran atau ketakutan AS terhadap Indonesia makin meningkat ketika Bung Karno yang di dalam negeri makin dekat dengan PKI.

Sebaliknya dalam hubungan internasionalnya Bung Karno juga membangun poros Jakarta-Peking-Moskow, kekuatan komunis yang sangat berpotensi melemahkan pengaruh Barat.

Baca juga:Kisah Cinta Pak Harto dan Bu Tien, Semanis Tebu yang Menyentuh Kalbu

Jika Indonesia berhasil dikuasai oleh PKI dipastikan akan meminta jaminan keamanan kepada Moskow dan Peking.

Pasalnya pada tahun itu Indonesia sedang memiliki hubungan dekat dengan Uni Soviet (Rusia) dan jika terjadi peperangan antara Sekutu melawan Indonesia, Rusia pasti membantu.

Rusia mengincar Indonesia karena akan dijadikan sebagai pangkalan kapal selam, penimbunan logistik, dan mungkin saja tempat menaruh senjata nuklir.

Dalam tahap seperti itu hubungan antara Bung Karno dan AS betul-betul memburuk apalagi di dalam negeri demo anti AS makin gencar dan diwarnai perusakan terhadap properti AS di Jakarta.

Melihat kondisi yang makin tak menguntungkan itu pimpinan AS, Presiden Johnson tetap memiliki harapan positif.

Baca juga:Ketika Pak Harto Melakukan Blusukan secara Rahasia, Banyak yang Tak Tahu bahkan Panglima ABRI Saat Itu

Ia memberikan komentar, "Tujuan utama kita masih tetap mengendarai badai yang panjang dengan pengurangan staf diplomatik di dalam suatu upaya bertaruh untuk jangka panjang pasca Soekarno."

Pada 30 September 1965 PKI melancarkan kudeta yang mengakibatkan gugurnya enam jenderal Angkatan Darat.

Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto kemudian mengambil alih tongkat komando AD mengingat Jenderal Ahmad Yani diyakini telah diculik.

Soeharto segera mengambil tindakan cepat. Dalam sehari situasi telah dipulihkan.

Pada tanggal 2 Oktober Bung Karno menyiarkan ke seluruh negeri bahwa dia sendiri yang memegang komando AD.

Bung Karno juga telah mengangkat Jenderal Pranoto sebagai kepala administratif AD serta mengangkat Jenderal Soeharto untuk melakukan restorasi keamanan.

Lewat Surat Perintah 11 Maret, ia mengangkat Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib yang bertugas mengembalikan keamanan dan ketertiban.

Sejalan tuntutan rakyat, PKI pun dibubarkan disusul penangkapan anggota-anggotanya yang ternyata berlangsung bertahun-tahun.

Sejarah telah membuktikan ketika tahun 1967 Bung Karno berpidato untuk menyampaikan pertanggungjawaban terhadap peristiwa 30 September di dalam sidang istimewa, pidatonya ditolak oleh MPRS.

Selanjutnya Jenderal Soeharto diangkat sebagai pejabat presiden yang dikukuhkan oleh MRPS bulan Maret 1968.

Selama pemerintahan Orde Baru kiprah Bung Karno makin surut, terkucilkan, dan kemudian jatuh sakit.

Bung Karno akhirnya wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur.

Wafatnya Bung Karno dan hancurnya komunis (PKI) di Indonesia sebenarnya merupakan kemenangan AS dan sebaliknya merupakan kekalahan bagi Moskow (Rusia) .

Apalagi Presiden Soeharto yang kemudian berkuasa ternyata sangat pro AS dan juga anti-Soekarno.

Segala sesuatu yang berbau Rusia pun secara perlahan hilang dari Indonesia karena dianggap identik dengan PKI.

Potensi konflik antara AS dan Rusia yang bisa memicu PD III pun berpindah tempat yakni di kawasan Semenanjung Korea dan Timur Tengah.

Artikel Terkait