Intisari-Online.com – Ketika itu 18 Desember 1626, Ratu Maria Eleonora menutup matanya dan menghela napas lega, ketika mengetahui bahwa putra yang dilahirkannya masih hidup, itu berarti kewajibannya kepada suaminya telah dia penuhi.
Dia telah memberi suaminya pewaris takhta, setelah tiga kali melahirkan sebelumnya, satu anak perempuan dan satu anak laki-laki, dan mereka lahir mati.
Putri Kristina, bayi perempuannya yang cantik, lahir pada tahun 1623 dan meninggal sebelum ulang tahunnya yang pertama.
Di Swedia, kelahiran terselubung menjadi tanda keberuntungan, karena negara itu berkonflik dengan banyak negara Eropa lainnya, ketika itu, jadi diramalkan anak ini bakal jadi pejuang seperti ayahnya.
Namun, ketika ‘Pangeran’ itu dibersihkan, para wanita yang menghadiri kelahiran itu menyadari bahwa mereka salah, ternyata bayi kerajaan itu berjenis kelamin perempuan.
Sekali lagi, sang ratu gagal memiliki seorang putra, setelah itu, dia mengalami depresi berat.
Gustavus Adolphus, yang menunggu kelahirannya setelah salah diumumkan jenis kelaminnya, tersenyum, dan berkata, “Dia akan pintar, dia telah membodohi kita semua!”
Pada tahun 1630 Gustavus Adolphus menulis surat kepada Pangeran Axel Oxenstierna, karena khawatir akan terjadi sesuatu pada keluarganya jika dia mati dalam pertempuran Perang Tiga Puluh Tahun.
Dia meminta kepada Count untuk menjaga istrinya dan memastikan bahwa putrinya akan menjadi raja berikutnya.
Pada 6 November 1632, prajurit Raja ditembak beberapa peluru dalam pertempuran Lutzen, dan putri satu-satunya yang masih hidup, Putri Kristina Augusta, baru berusia enam tahun.
Sebuah dewan rahasia pun dibentuk, yang memerintah atas nama Kristina, dan Oxenstierna adalah kepala dewan itu.
Sebagai seorang politisi yang terampil, Oxenstierna menggunakan pengaruhnya untuk membela hak Putri Kristina atas takhta.
Ratu Maria Eleonora yang sangat mencintai suaminya ketika mengetahui kematiannya, sangat hancur.
Mayat Gustavus Adolphus diangkut kembali ke Stockholm, dan Ratu menolak untuk menguburkannya, sampai ‘dia bisa dikuburkan bersamanya.’
Ratu memerintahkan peti mati suaminya tetap terbuka dan sering mengunjungi mayatnya, menyentuhnya, dan mengabaikan pembusukan, sampai pada titik Ratu membarikade dirinya, hati suaminya yang sudah meninggal, dan Putri Kristina di sebuah ruangan.
Count Oxelstierna memutuskan untuk menempatkan penjaga di pintu ruangan tempat mayat itu disimpan agar Ratu tidak bisa masuk, hingga Raja dimakamkan pada bulan Juni 1633, delapan bulan setelah kematiannya.
Karena penyakit mental ibunya, Kristina pun tinggal bersama bibi dari pihak ayahnya, dan di tempat ini Kristina bermain dengan sepupunya.
Dia diajari bahasa Prancis, Jerman, dan Latih, hingga dapat berbicara dengan fasih, juga diajari strategi militer dan politik, pendidikan yang biasanya hanya diperuntukkan bagi pria.
Pada tahun 1639, pesta ulang tahun ke-13 Kristina di kastil Tre Kronor di Stockholm dia hadiri dengan mengenakan helm perak dan baju perang, bak idolanya Alexander yang Agung, dengan tamu yang berpesta dengan hidangan mewah dan mahal, serta anggur impor dari Prancis yang disajikan.
Sejak itu, Kristina terus mengadakan pesta, menghabiskan kekayaannya yang besar untuk dekorasi, minuman, dan makanan.
Pada ulang tahunnya yang ke-18, Ratu Kristina menjadi raja dengan haknya sendiri, namun dia menolak menandatangani dokumen yang berisi bentuk pemerintahan untuk tahun-tahun mendatang.
Dengan melakukan itu di depan seluruh dewan rahasia, dia ingin membuktikan dirinya sebagai wanita yang tidak bisa diinjak-injak.
Perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik dan Protestan, yang menyebabkan ayahnya meninggal, masih berkecamuk ketika Ratu Kristina mencapai usia dewasa.
Count Oxenstierna enggan menerahkan kekuatan, memutuskan perang Swedia kepada Ratu, lalu mengirimkan putranya Johan ke konferensi perdamaian di Jerman, dan menentang perdamaian dengan kekaisaran Romawi Suci.
Sementara, Ratu Kristina menginginkan untuk mengakhiri perang, jadi dia mengirim perwakilannya sendiri untuk menengahi perjanjian damai.
Ratu Kristina sejak kecil terpesona oleh agama Katolik, namun dia adalah putri seorang Raja yang beragama Protestan yang berjuang untuk membatasi pengaruh gereja Katolik di wilayah Baltik, dan diharapkan dia menjadi seorang Lutheran setia.
Setelah ditunda selama enam tahun, pada tahun 1650, Kesitina mendapatkan penobatannya, dengan upacara yang berlangsung selama berhari-hari tanpa penghematan biaya, dengan sutra halus impor dari Prancis dan Ratu berhias permata.
Perayaan mahal ini dianggap menjijikkan bagi bangsawan Swedia.
Setelah beberapa tahun berkuasa, rumor pun mulai keluar dari Istana Kerajaan di Stockholm, karena ratu dan dayangnya, Ebba ‘Belle’ Sparre, sangat dekat, bahkan sering tidur di ranjang yang sama, mereka dituduh memiliki hubungan emosional, meski tidak terbukti bahwa mereka sepasang kekasih.
Hanya saja, Sang Ratu sering mengenakan pakaian stereotip ‘laki-laki’, yang tentu saja banyak dikomentari oleh orang-orang zaman itu, melansir History of Yesterday.
Rupanya, diketahui dengan pasti bahwa Ratu tidak pernah berniat menikahi seorang pria.
Bahkan ketika sepupu pertamanya, Charles Gustav, jatuh cinta padanya, Kristina menolak uang mahar dan malah menyatakan dia sebagai ahli warisnya, dan karena sudah memiliki ahli waris, itu berarti tidak ada lagi yang meminta Kristina untuk menikah dan memiliki anak.
Pada tanggal 16 Juni 1654, Ratu Kristina Augusta turun takhta dari takhta Swedia, dengan alasan masalah kesehatan, dan bahwa peran memerintah suatu negara ‘menantang’ untuk dikerjakan seorang wanita.
Namun, diyakini bahwa dia turun takhta karena ingin menjadi seorang Katolik, Charles pun menjadi Charles X Gustav.
Dengan bantuan seorang Jerman, Ratu Kristina berkendara melintasi Denmark mengenakan pakaian pria, dengan barang bawaan termasuk koleksi buku langka, pakaian, dan perhiasan mahal, serta sejumlah besar mata uang diangkut dengan kapal ke Roma.
Pada bulan September 1654, Kristina Augusta tiba di Italia, lalu bulan November dia mengumumkan pertobatannya ke Katolik, mengubah nama tengahnya Augusta menjadi Alexandra.
Kristina menghabiskan sisa hidupnya di Roma, bersosialisasi dengan penduduk kaya kota, berkenalan dengan empat paus yang memerintah Vatikan selama waktunya di Roma.
Dia terus mengenakan pakaian yang biasanya dikenakan oleh pria, namun dia menemukan penerimaan sosial di antara para seniman Roma, menjadi pelindung pada musisi, pelukis, dan pematung, dan menentang antisemitisme di Italia.
Ratu Kristina meninggal pada tahun 1689, pada usia 63 tahun.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari