Advertorial
Intisari-Online.com - Tidak seperti Yerusalem, kota suci bagi 3 agama yang sekaligus menjadi tempat gesekan konflik, di Asia ada sebuah serupa namun damai.
Sri Pada, yakni sebuah gunung di Sri Lanka yang dianggap sucioleh umat Buddha, Kristen, Hindu dan Islam menurut kepercayaan masing-masing.
Di puncaknya terdapat sebuah batu besar dengan tapak kaki suci.
Gunung ini menjadi penanda bagirang-orang Arab pelaut kuno, yang datang ke Sri Lanka, untuk berdagang permata, rempah-rempah, gading, dll.
Setelah melihat gunung ini, mereka berdoa kepada Tuhan karena telah membawa mereka dengan selamat.
Mereka percaya bahwa di atas gunung ini terletak makam Adam.
Ibn Batuta(1304-1377), telah memberanikan diri untuk mencapai puncak gunung suci melalui Ratnapura.
Iamenyusuri jalan di tepi Kalu-gangasetelah memulai perjalanannya dari Barberyn (Beruwala).
Marco Polo (125401324), juga telah mendaki gunung iniuntuk memberi penghormatan kepada Kaki Adam yang mulia, dalam perjalanannya dari China pada tahun 1292, sebelum kembali ke Venesia.
Umat Buddha percaya bahwa jejak kaki di puncak Sri Pada adalah jejak Buddhaselama kunjungannya yang ketiga ke Kelaniya, 2.580 tahun yang lalu.
Orang-orang Kristen percaya bahwa Adam, setelah diusir dari Taman Eden (Surga)jatuh ke bumi dan jatuh ke gunung ini.
Kepercayaan orang Islam mirip dengan kepercayaan orang Kristen berdasarkan Perjanjian Lama.
Mereka menyebut gunung itu 'Adam-malai' (Gunung Adam) karena percaya di atas gunung terletak makam Adam.
Orang Hindu percaya bahwa jejak kaki tersebut merupakan jejakDewa Siwa.
Oleh karena itu mereka menyebut gunung itu 'Sivanolipadam' (Kaki Cahaya Siwa).
Para pengikut dewa Siwa naik ke gunung memohon bantuan dan pemeliharaan ilahi untuk dilahirkan di alam surgawi, yaitu Gunung Kailas.
Di masa lalu, para peziarah mendaki gunung dengan menginjak permukaan batu dan berpegangan pada rantai yang dipasang pada tiang besi yang dibor ke lantai berbatu.
Bagian paling berbahaya dari pendakian adalah titik yang dikenal sebagai 'Mahagiridambe' di mana para peziarah yang terkena angin kencang berisiko terbawa arus.
Peziarah mencoba mencapai puncak sebelum fajar untuk melihat fenomena besar yang dikenal sebagai 'ira-sevaya' (pancaran matahari terbit) yang menusuk ufuk timur.
(*)