Intisari-Online.com - Pada tahun 1045, Prabu Airlangga memutuskan untuk turun takhta dan membagi Kerajaan Kahuripan untuk kedua putranya.
Itu dilakukan untuk menghindari pertikaian antara kedua putranya, yaitu Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya.
Pembagian Kerajaan Kahuripan kemudian melahirkan dua kerajaan yang dikenal sebagai Kerajaan Jenggala dan Panjalu (Kediri).
Mapanji Garasakan memerintah Jenggala, sedangkan Sri Samarawijaya memerintah Panjalu.
Sementara itu, setelah turun takhta, Airlangga memilih untuk menjadi pertapa hingga akhir hayatnya pada 1049.
Ia pun menjadi pendiri sekaligus satu-satunya raja Kerajaan Kahuripan.
Dalam membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua wilayah kekuasaan, Raja Airlangga dibantu oleh seorang Brahmana bernama Mpu Bharada.
Menurut Negara Kertagama, Mpu Bharada adalah seorang Pendeta Budha yang bersemayam di desa Lemah Citra atu Lemah Tulis, sementara dalam sumber lain sebagaimana yang dikisahkan dalam Serat Calon Arang, Mpu Bhadara adalah guru spiritual Raja Airlangga.
Mpu Bharada Membagi Kahuripan dengan Kucuran Air dari Kendi
Menurut Negara Kertagama sebagimana yang dikutip Abimayu (2018; 106) dalam bukunya “Babad Tanah Jawa” bahwa kiprah Mpu Bharada adalah banyak membantu Raja Airlangga dalam membangun Kerajaan Kahuripan, salah satunya berkiprah dalam perencanaan dan pengimplementasian pembelahan kerajaan Kahuripan menjadi dua kerajaan baru.
Kahuripan sendiri diketahui memiliki wilayah yang cukup luas, yaitu hampir mencakup seluruh daerah Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.
Tentunya, membelah kerajaan ini menjadi dua bukanlah perkara mudah. Jika tidak dilakukan dengan tepat, maka dapat menimbulkan keberatan dari pihak yang merasa dirugikan.
Diceritakan, dalam pembelahan kerajaan Kahuripan, Mpu Bharada berhasil melaksanakannya dengan baik, terbukti tidak adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Konon, Mpu Bharada melakukan pembagian wilayah itu dengan jalan kesaktian.
Mpu Bharada terbang ke udara sambil mengucurkan air dalam kendi, air itulah yang nantinya dijadikan sebagai batas kedua kerajaan.
Dalam prosesnya, dikisahkan Mpu Barada mengalami gangguan ketika terbang di wilayah desa Palungan, tiba-tiba jubah yang dikenakannya tersangkut ranting pohon asam.
Baca Juga: Inilah Hikmah Beriman Kepada Malaikat Mengamalkan Rukun Iman Kedua
Itu membuatnya marah dan kemudian terlontarlah kutukan bahwa pohon asam itu akan menjadi kerdil.
Dikutip dari buku “Babad Tanah Jawa”, tempat yang terdapat pohon asam yang membuat sial Mpu Bharada itu di zaman Majapahit dikenal dengan nama Kamal Pandak.
Sementara itu, selesai menetapkan batas Kerajaan Kediri dan Janggala berdasarkan kucuran air kendi, Mpu Bharada mengucapkan kutukan.
"Barang siapa yang berani melanggar batas tersebut, hidupnya akan mengalami kesialan."
Kediri dan Jenggala Tetap Bertikai
Meski Prabu Airlangga membagi Kahuripan demi menghindari pertikaian, tetapi selama berdiri, dua kerajaan tersebut tetap terus berselisih.
Dengan perselisihan tersebut, pada akhirnya Kerajaan Jenggala yang harus menerima kekalahan dari Kerajaan Panjalu atau Kediri.
Jenggala harus menyerah dan mengakui keunggulan Panjalu pada tahun 1130-an.
Berdasarkan Prasasti Ngantang, Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kerajaan Panjalu ketika berada di bawah kekuasaan Raja Jayabaya.
Sejak saat itu, Kerajaan Jenggala menjadi bawahan Panjalu.
Itulah yang membuat usia Kerajaan Jenggala terbilang singkat, yakni hanya sekitar 90 tahun saja.
Sementara Kerajaan Panjalu mencapai puncak kejayaannya pada masa Raja Jayabaya tersebut.
Selain berhasil mengalahkan saudaranya sendiri, Jenggala, di bawah kekuasaannya Kerajaan Panjalu memiliki wilayah kekuasaan mencapai seluruh Pulau Jawa, sebagian Sumatera, pantai Kalimantan dan Kerajaan Ternate.
Bahkan kerajaan ini sangat terkenal hingga ke Tiongkok, dibuktikan dengan tulisan saudagar bernama Khou Ku Fei yang memaparkan tentang karakteristik masyarakat pada zaman Kerajaan Kediri.
Tetapi, di balik kejayaannya, Prabu Jayabaya konon dihantui perasaan bersalah dan berdosa karena telah membunuh saudaranya sendiri.
Menurut cerita yang beredar, ia menghilang tanpa jejak setelah melakukan tapa moksa.
Sementara runtuhnya Panjalu atau Kediri terjadi pada masa pemerintahan Sri Kertajaya, yang berkuasa antara 1194-1422. Ia dikenal sebagai raja yang sangat kejam.
Baca Juga: Kalender 2022 Jawa dari Bulan Januari hingga Desember, Lengkap dengan Weton Pasaran hingga Wuku
Baca Juga: Weton Pasaran Hari Ini 14 Februari 2022, Beginilah Nasib dan Sifat Senin Legi yang Unik
(*)