Intisari - Online.com -Kisah mengenai kegilaan kaisar pertama China Qin Shi Huang yang menginginkan keabadian telah memukau seluruh dunia.
Jika kekaisaran Romawi dipenuhi dengan keserakahan dan pentingnya jabatan, kisah mengenai kekaisaran China penuh akan obsesi para kaisar mendapatkan hidup abadi.
Hal ini sama dengan yang terjadi pada kekaisaran Jepang.
Hidup abadi memiliki arti penting bahwa para kaisar ini memang merupakan keturunan dewa dan kemudian menjadi dewa, sehingga pantas untuk dipuja oleh rakyatnya.
Konsep ketuhanan ini diputus oleh Kaisar Hirohito dari kekaisaran Jepang yang mendekat ke warganya sekaligus memodernisasi Jepang.
Tapi, kekaisaran China sulit untuk berhenti berambisi mengejar keabadian.
Qin Shi Huang seperti menurunkan ambisinya kepada para kaisar China setelah dirinya.
Mengutip Ranker, berikut adalah beberapa cerita mengenai ambisi para kaisar China mengejar keabadian.
Memakan giok dan meminum merkuri serta arsenik
Bahkan setelah Qin Shi Huang meninggal dunia dan tidak berhasil menemukan cairan keabadian, banyak kaisar China mencari ramuan abadi yang bisa membuat mereka hidup selamanya.
Giok dan merkuri seharusnya bisa menghentikan tubuh membusuk, sebuah langkah pertama yang penting.
Dalam masa Dinasti Zhou, para kaisar memurnikan diri mereka dengan memakan giok.
Satu buku mencatat, "ketika kaisar memurnikan diri dengan pantangan-pantangan, kepala yang bertanggung jawab atas pekerjaan batu giok menyiapkan untuknya batu giok yang wajib ia makan."
Ketika seorang kaisar meninggal dunia, buku itu merekomendasikan memberi makan mayat dengan batu giok sebelum dikubur untuk membantu jasadnya abadi.
Makam dinasti Han juga mengandung giok, ditempatkan di lubang mayat untuk menahan kekuatan hidup mereka.
Giok-giok ini dipasang di telinga, hidung, mulut dan lubang kotoran manusia, melestarikan jiwanya.
Selain giok, ahli alkimia China menjanjikan jika merkuri bisa memperpanjang masa hidup.
Merkuri disebut eliksir keabadian dan dikonsumsi oleh banyak kaisar.
Larutan terbuat dari cinnabar, mineral merah terang mengandung sulfida merkuri, sering ada dalam obat cuci perut, sabun, dan kosmetik.
Arsenik juga ditemukan dalam larutan keabadian.
Bahan-bahan ini bahkan dalam dosis sangat kecil bisa sangat fatal.
Enam kaisar Dinasti Tang meninggal karena ramuan keabadian
Selama masa kekuasaan Dinasti Tang, setidaknya enam kaisar meninggal dunia setelah mengkonsumsi ramuan keabadian.
Ahli alkimia menjanjikan ramuan keabadian terbuat dari merkuri dan sulfur bisa melahirkan kehidupan abadi.
Alih-alih, larutan itu mengakhiri hidup para kaisar yang mengkonsumsinya.
Ahli puisi Dinasti Tang, Po Chu-I, mencoba membuat ramuan keabadiannya sendiri setelah gosip penjual mengklaim ia jadi yang terpilih bisa hidup abadi.
Menurut cerita tersebut, penjual tersebut telah karam di Penglai, di mana ia melihat nama ahli puisi itu tertulis di antara para manusia abadi.
Bertahun-tahun gagal mencapai keabadian, Po-Chu-I mengakui jika ramuan keabadian tampaknya mencelakai orang-orang yang meminumnya.
Dalam satu puisi, ia menyesali kematian temannya yang meminum larutan tersebut.
Buah persik, jamur, dan Kelinci Bulan juga menjanjikan keabadian
Merkuri bukan hanya senyawa yang dikonsumsi para kaisar untuk memperpanjang nyawanya.
Obat-obatan China juga mempromosikan lingzhi, atau "jamur keabadian."
Dengan secara teratur memakan jamur tersebut, banyak teks China mempromosikan seseorang bisa hidup secara abadi.
Persik keabadian juga memberikan kehidupan abadi kepada mereka yang memakannya.
Tapi tidak seperti jamur, yang tumbuh di Asia Timur, mitologi Cina mengklaim buah persik hanya tumbuh di satu kebun milik dewi Cina.
Buah persik membutuhkan waktu ribuan tahun untuk matang, dan pada saat itu para dewa abadi berpesta dengan mereka. Jika manusia menemukan buah persik, mereka juga bisa mendapatkan keabadian.
Alih-alih membuat resep keabadian, kelompok lain melihat jalan pintas mendapatkan hidup abadi dengan Kelinci Bulan.
Cerita rakyat Tiongkok mengklaim bahwa Chang'e , seorang dewi bulan, mengambil ramuan keabadian dari suaminya.
Ketika dia meminumnya, Chang'e melayang ke bulan, di mana dia bertemu dengan Kelinci Bulan, pembuat ramuan keabadian.
Kaisar menghormati Kelinci Bulan.
Pada abad ke-18, seorang kaisar mengenakan jubah bersulam yang menunjukkan Kelinci Bulan sedang mencampur ramuan keabadian.
Pada abad ke-8, penyair Li Bai menulis, "Kelinci di bulan menumbuk obat dengan sia-sia."
Saat mencoba menangkap pantulan bulan di Sungai Yangtze, Li Bai jatuh dari perahunya dan tenggelam.
Baca Juga: Demi Bisa Dihidupkan Kembali di Masa Depan, Beberapa Orang Autralia Membekukan Otaknya
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini