Tak hanya dalam bersikap. Secara fisik pun Ki Hajar memiliki keberanian yang mencengangkan. Ini terkuak dalam peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas) tanggal 19 September 1945.
Saat itu pemerintah RI menghadapi tantangan, apakah Presiden dan jajaran kabinetnya berani menembus kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling lapangan.
Sidang kabinet di Pejambon sempat ribut. Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan segenap anggota kabinet hadir di Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat.
Yang lain menolaknya dengan pertimbangan keselamatan. Akhirnya setelah melalui perundingan alot, semua sepakat untuk hadir.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, siapa menteri yang harus membuka jalan terlebih dulu memasuki Lapangan Ikada, sebelum rombongan Presiden, mengingat ada kemungkinan Jepang membantai rombongan menteri yang pertama masuk Ikada untuk mencegah keberhasilan Pemerintah RI menyatakan eksistensinya kepada rakyat dan dunia internasional.
Pada saat kritis inilah sebagai Menteri Pengajaran Ki Hajar unjuk keberanian. Bersama Menlu Mr. Achmad Subarjo, Mensos Mr. Iwa Kusumasumantri, ia menyediakan tubuhnya menjadi tameng.
Baca juga: Hardiknas: Saat Ki Hajar Dewantara Bermufakat tentang Kabar Kematiannya
Padahal usia bapak enam anak itu bisa dibilang tak lagi muda. Ketika diingatkan oleh Sesneg Abdul Gafur Pringgodigdo, "Ingat, Ki Hajar ‘kan sudah tua."
Ki Hajar menjawab enteng, "Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa.”
Tak sekali itu saja Ki Hajar menunjukkan keberaniannya. Meski baru saja keluar dari tahanan, Desember 1948, ia sudah berani perang mulut dengan tentara Belanda.
Pagi itu satu peleton tentara Belanda dengan sikap garang melakukan sweeping di asrama para Pamong (guru) Tamansiswa, Yogyakarta.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR