Advertorial
Intisari-Online.com -Siapa tak kenal sosok Ki Hajar Dewantara? Ketokohan Ki Hajar dalam sejarah pendidikan nasional tak diragukan lagi.
Beliaulah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pertama.
Sejak era pergerakan, Ki Hajar konsisten berjuang melawan kolonialisme lewat jalur pendidikan.
Lewat Perguruan Taman Siswa yang didirikannya tahun 1922, Ki Hajar mengembangkan konsep pendidikannya sendiri.
Baca juga:Vodka dan Jet Tempur Sukhoi Bikin Polisi Militer TNI AU Tegang
Beliau menciptakan sistem pendidikan yang lebih mengakar dan menjawab tantangan kolonialisme yang membelenggu bangsa.
Semboyan pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidik.
Dalam bahasa Jawa semboyan itu berbunyi "Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan).
Semboyan ini kemudian dipakai sebagai semboyan pendidikan nasional hingga kini.
Baca juga:Jackie Chan Kaya Raya Tapi Putrinya Hidup Miskin dan Menggelandang, Ini Kisahnya!
Namun selain pedagog, tokoh yang dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional ini, juga seorang mantan aktivis politik yang cukup kritis menentang kebijakan kolonial.
Semangat itu tercermin dalam tulisan-tulisannya yang komunikatif, tajam, dan patriotik sehingga membangkitkan semangat antikolonial pembacanya.
Semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan itulah yang selalu diingat dan menginspirasi cucu jauhnya Antarina S. F. Amir.
Disebut cucu jauh karena Direktur High Scope Indonesia (HSI) ini bukan cucu biologis, tetapi cucu dari adiknya Ki Hajar.
Baca juga:Cerita para Istri Terpidana Kasus Marsinah:
Ibunya, Suwarmilah Surjaningrat merupakan keponakan Ki Hajar Dewantara.
Kiprahnya di dunia pendidikan sebenarnya bukan cita-cita awal Antarina muda.
Bidang kuliah yang diambilnya pun mengarahkannya menjadi seorang profesional: Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Tapi sejak kecil dia suka belajar dan senang memperhatikan sistem pendidikan yang berbeda-beda.
Di sekolah Antarina sering membantu teman yang mengalami kesulitan belajar.
“Saya orangnya suka gregetan, bawaannya selalu ingin mengajari orang,” ujar perempuan kelahiran Jakarta, 6 Juni 1962 ini.
Rumahnya pun selalu ramai karena menjadi tempatnya belajar bersama teman-temannya. (Rusman)