Jenkins, yang saat itu berusia 64 tahun, mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta dengan pesawat yang dikirim Jepang ke Korea Utara untuk menjemputnya.
Rupanya Indonesia dipilih sebagai tempat reuni itu, karena tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Amerika Serikat, dan dianggap aman dari tuntutan AS.
Jenkins sendiri sempat menolak untuk bertemu kembali dengan istrinya di Jepang karena kemungkinan dia bisa diekstradisi untuk diadili di Amerika Serikat.
Bertemu dengan suami yang dirindukannya, Hitomi Soga membenamkan wajahnya di bahu Jenkins dan memeluknya.
Soga kemudian menoleh ke dua putrinya yang masih remaja dan memeluk mereka, sementara Jenkins berlinang air mata.
"Saya sangat senang," kata Jenkins sambil tersenyum.
Saat itu, Jenkins mengenakan jas dan dasi gelap, sementara di kerahnya ada pin bertuliskan gambar Kim Il Sung, pendiri Korea Utara.
Dua bulan kemudian, pada September 2004, Jenkins muncul di Kamp AD Amerika Serikat di sisi barat Tokyo dengan mengenakan seragam militer lengkap.
Kemudian pada November 2004, Jenkins mengaku bersalah telah melakukan disersi dan membantu musuh.
Dia pun mendapatkan hukuman 30 hari kurungan, dipecat dengan tidak hormat dari kemiliteran, dan kehilangan semua hak serta tunjangannya sebagai personel militer AS.
Setelah dibebaskan dari hukuman pada akhir November, dia tinggal bersama istri dan putrinya di Pulau Sado.
Dan pada 2008, Jenkins mendapatkan status penduduk tetap di Jepang.
Berbicara tentang aksinya membelot ke Korea Utara, dalam buku memoarnya 'The Reluctant Communist: My Desertion, Court-martial, and 40-year Impronment in North Korea' ia mengaku punya alasan logis untuk aksinya itu.
"Saya tahu saat itu saya tak berpikir jernih dan banyak keputusan saya tak masuk akal jika dilihat saat ini.
"Namun, satu itu ada alasan logis yang membuat perbuatan saya tak terhindarkan," kata Jenkins dalam buku memoarnya.
Terungkap, begitu menyeberang perbatasan, Jenkins dan ketiga orang lainnya langsung mendapat pelecehan. Mereka ditahan di sebuah ruangan selama delapan tahun.
Jenkins dan ketiga orang lainnya juga dipaksa menghapal buku ideologi karya Kim Il Sung, pendiri Korea Utara.
Mereka langsung mendapatkan pukulan saat melakukan kesalahan dalam menghapal isi buku karya Kim Il Sung itu.
Keempat pembelot itu sempat meloloskan diri pada 1966 dan meminta suaka kepada kedutaan besar Uni Soviet di Pyongyang, namun permohonan mereka ditolak.
Setelah indoktrinasi selama enam tahun itulah, keempat pembelot AS kemudian mendapatkan kewarganegaraan Korea Utara, juga sejumlah pekerjaan.
Tapi, Jenkins menggambarkan kehidupannya di Korea Utara sangat sengsara.
"Di Korea Utara, saya hidup seperti anjing. Tak ada orang biasa yang hidup enak di Korea Utara," ujar Jenkins.
"Tak ada makanan. Tak ada air bersih. Tak ada listrik. Di musim dingin, kami membeku di kamar tidur sementara dinding rumah dilapisi es," kenangnya.
Di sana, Jenkins mengajar bahasa Inggris di Universitas Pyongyang.
Kemudian pada 1982, muncul sebagai sosok orang Amerika yang jahat dalam film propaganda Korut "Unsung Heroes", di mana penampilannya inilah yang menjadi konfirmasi bagi AS bahwa Jenkins masih hidup.
Meski melakukan desersi dan membelot, para veteran AS masih memberikan sedikit simpati kepada Jenkins dan para pembelot lainnya.
Itu karena kondisi saat itu memang akan memaksa mereka untuk mengambil jalan itu.
"Mereka masih muda, beberapa mengalami kondisi buruk di unitnya dan terpengaruh propaganda Korea Utara.
"Jadi mereka yakin membelot adalah solusi," kata Lance Gatling, yang bertugas dengan batalion tank di Korea Selatan.
Meski Angkatan Darat AS tak akan melupakan dan mentolerir prajuritnya yang melintasi zona demiliterisasi, tetapi bagi Gatling, hidup di Korea Utara sendiri sudah seperti hukuman.
"Bagi saya, mereka dipaksa hidup 40 tahun di Korea Utara dalam kondisi menyedihkan sudah merupakan sebuah hukuman," tegasnya.
Charles Jenkins meninggal dunia pada Desember 2017 di Jepang dalam usia 77 tahun, dikabarkan karena penyakit jantung.
Jenkins meninggal dunia setelah menjalani sisa hidupnya bersama keluarganya dan bekerja di sebuah toko cendera mata wisatawan juga menulis sebuah buku tentang riwayat pengalamannya. (Khaerunisa)
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR