Intisari-Online.com -Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menyampaikan bahwa mayoritas kasus Omicron di Indonesia tanpa gejala atau asimtomatik dan bergejala ringan dengan gejala menyerupai flu.
Omicron merupakan varian baru dari virus SARS-CoV-2, dan masih terus diteliti karakteristiknya oleh para ahli di seluruh dunia.
Adapun penelitian awal di London telah mengungkapkan setidaknya terdapat lima gejala-gejala yang dilaporkan dari kasus Omicron, seperti pilek, sakit kepala, kelelahan, bersin, dan sakit tenggorokan.
Tapi melansir Kompas.com, kita bisa juga menemukan kabar baik mengenai varian Omicron ini:
1. Vaksin melindungi dari Omicron
Orang dengan dua dosis vaksin lebih kecil kemungkinan untuk diharuskan rawat inap, bakan ketika vaksin mereka mulai kehilangan perlindungan terhadap infeksi.
Ini mungkin karena kebanyakan vaksin memberikan respon seluler yang tidak berpengaruh terhadap varian ini.
Ada data yang menunjukkan bahwa dosis ketiga dari vaksin messenger RNA (mRNA) memiliki kemampuan menetralkan kekuatan dari Omicron.
Vaksin ini menggunakan kode genetik virus corona yang diinjeksikan ke tubuh, dan memicu badan memproduksi protein virus, yang diharapkan cukup untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh.
Ditambah lagi, vaksin universal baru melawan SARS-CoV-2 dan semua variannya, termasuk Omicron, saat ini sedang dikembangkan.
2. Omicron lemah dalam menginfeksi sel pernapasan
Setidaknya ini terlihat dalam permodelan sel dan percobaan pada binatang.
Memang benar bahwa belum ada data pada manusia, tapi beberapa penelitian pendahulu menunjukkan bahwa varian Omicron berkembang biak lebih buruk di sel paru-paru, yang bisa menjadi indikasi perkembangannya yang lebih rendah.
(Meskipun ada kebutuhan lain untuk memeriksa apa yang terjadi pada organ tubuh lainnya).
Namun, situasi tentang Omicron masih sangat rumit, terutama karena peningkatan kasus yang pesat dan berpotensi menyebabkan sistem kesehatan kolaps.
Jika sebelumnya 1 banding 100 kasus berakhir di rumah sakit, sekarang - berkat vaksin - skalanya menjadi 1 banding 1.000 kasus.
Tapi jika jumlah kasus meningkat secara eksponensial, tetap akan berdampak terhadap angka rawat inap dan sistem kesehatan bisa ambruk, seperti yang telah kita lihat sebelumnya. Jadi, kita harus sangat hati-hati.
3. Risiko lebih rendah Omicron untuk rawat inap dan kematian
Semakin banyak bukti menunjukkan orang yang terinfeksi varian ini lebih rendah berisiko untuk mendapat rawat inap di rumah sakit.
Analisa pertama berasal dari Afrika Selatan, yang menunjukkan mereka yang terinfeksi Omicron lebih rendah jumlahnya untuk mendapat perawatan di rumah sakit, dibandingkan pasien dengan varian lainnya, pada periode yang sama.
Juga, setelah dirawat di rumah sakit, orang yang terinfeksi Omicron memiliki risiko gejala serius yang lebih ringan dibandingkan mereka yang terinfeksi Delta.
Kasus ini sepertinya disebabkan oleh semakin tingginya tingkat imunitas populasi.
Meskipun masih sulit untuk menentukan apakah varian baru ini tidak terlalu menular atau apakah ini merupakan efek dari kekebalan populasi (efek infeksi sebelumnya dan vaksinasi), atau keduanya.
4. Ada obat efektif melawan Omicron
Majalah Science dalam halaman depannya menampilkan obat Paxlovid, obat oral antiviral yang mampu menghambat struktur protease virus, dengan sebuah kemampuan untuk mengurangi risiko keparahan Covid-19 lebih dari 90 persen.
Obat ini sudah mendapat izin edar dari FDA. Paxlovid adalah penghambat satu dari protease SARS-CoV-2, yang disebut dengan 3CL.
Pengobatan ini dikombinasikan dengan penghambat protease, rtonavir, yang digunakan dalam pengobatan HIV.
Karena varian Omicron tak memiliki mutasi pada protein-protein yang ditargetkan Paxlovid, kemungkinan besar obat ini sama efektifnya untuk varian baru tersebut.
Setidaknya dalam laporan yang dilansir perusahaan Pfizer, uji in vitro (uji kandidat obat yang dilakukan pada cawan berisi virus/bakteri) telah membuktikannya.
Tapi masih ada lagi. Antibodi monoclonal, Sotrovimab dari GSK juga digadang-gadang efektif melawan Omicron.
5. Kasus menurun di beberapa negara
Di Norwegia, Belanda, Belgia, Jerman, Afrika Selatan atau Austria, jumlah kasusnya mulai menurun.
Kemungkinan yang terjadi, bahwa di sejumlah negara tersebut terdapat efek percampuran antara Delta dan Omicron.
Beberapa negara juga melakukan pembatasan selama beberapa minggu.
Tapi jika kita menengok ke Afrika Selatan, di mana dampak Omicron lebih terlihat, peningkatan kasusnya eksplosif dan eksponensial, tapi juga kasusnya menurun dengan sangat cepat.
Sejumlah data menunjukkan, dalam waktu empat atau lima minggu Afrika Selatan mengalami peningkatan kasus, dan menurun dengan waktu yang sama.
(*)