Intisari-Online.com - Rusia dan Ukraina tengah memanas dan terlibat dalam konflik serius.
Kepala Angkatan Bersenjata Inggris Laksamana Tony Radakin dalam pidatonya pada Rabu (8/12/2021), menyatakan bahwa invasi yang dilancarkan Rusia bisa memicu konflik besar.
Tak tanggung-tanggung, dia juga mengatakan bahwa konflik besar tersebut bisa menyaingi Perang Dunia II.
“Signifikansi skenario terburuk dalam invasi penuh ke Ukraina adalah skala besar di Eropa sejak Perang Dunia II,” kata Radakin sebagaimana dilansir Anadolu Agency.
Melansir Kompas.com, penyebab kenapa Rusia dan Ukraina perang dapat ditelusuri kembali ketika Revolusi Bolshevik terjadi pada 1917.
Mayoritas wilayah Ukraina dimasukkan ke dalam Kekaisaran Rusia setelah pembagian kedua Polandia pada 1793.
Sementara itu, bagian yang tersisa yakni Galicia tetap menjadi bagian dari Kekaisaran Austro-Hongaria dan menjadi medan pertempuran utama di Front Timur Perang Dunia I.
Hingga akhirnya, tak lama setelah penggulingan Tsar atau kaisar Soviet pada Februari 1917, Ukraina membentuk pemerintahan sementara dan memproklamirkan dirinya sebagai republik dalam struktur Federasi Rusia.
Setelah Vladimir Lenin dan kaum Bolshevik-nya yang radikal naik ke tampuk kekuasaan bulan November, Ukraina - seperti sesama bekas properti Rusia, Finlandia — mengambil satu langkah lebih jauh, yaitu mendeklarasikan kemerdekaan penuhnya pada Januari 1918.
Namun, Pemerintahan Rada Ukraina yang dibentuk setelah pemisahan diri, mengalami kesulitan serius dalam memaksakan kekuasaannya kepada rakyat dalam menghadapi oposisi Bolshevik dan aktivitas kontra-revolusioner di dalam negeri.
Melihat Ukraina sebagai sumber makanan yang ideal dan sangat dibutuhkan bagi orang-orang yang dilanda kelaparan, Jerman dan Austria membawa pasukan untuk menjaga ketertiban.
Jerman dan Austria juga memaksa pasukan Rusia yang menduduki negara itu untuk pergi berdasarkan ketentuan perjanjian di Brest-Litovsk yang ditandatangani pada Maret 1918, dan secara virtual mencaplok wilayah tersebut, sementara konon mengakui kemerdekaan Ukraina.
Wilhelm Groener komandan tentara Jerman di Kiev berkata, "Struktur pemerintahan (Ukraina) benar-benar kacau, benar-benar tidak kompeten dan sama sekali tidak siap untuk hasil yang cepat."
"Akan menjadi kepentingan kami untuk memperlakukan Pemerintah Ukraina sebagai kedok dan kami melakukan sisanya sendiri."
Kekalahan Blok Sentral dan penandatanganan gencatan senjata pada November 1918 kemudian memaksa Jerman dan Austria menarik diri dari Ukraina.
Pada saat yang sama, dengan jatuhnya kekaisaran Austro-Hongaria, republik Ukraina Barat yang merdeka diproklamasikan di kota Lviv di Galicia.
Kedua negara Ukraina sempat memproklamirkan persatuan mereka pada awal 1919, tetapi kemerdekaan itu berumur pendek, karena mereka terlibat konflik tiga arah melawan pasukan dari Polandia dan Rusia.
Pemerintah Ukraina secara singkat bersekutu dengan Polandia, tetapi tidak dapat menahan serangan Soviet.
Pada tahun 1922, Ukraina menjadi salah satu republik konstituen asli dari Uni Republik Sosialis Soviet (USSR); dan baru mendapatkan kembali kemerdekaannya setelah Uni Soviet pecah tahun 1991.
Akan tetapi, Presiden Rusia sekarang yaitu Vladimir Putin enggan membiarkan Ukraina lepas begitu saja.
Dalam artikel pada Juli 2021, Putin menyebut Ukraina sebagai jantung bersejarah orang Slavia dan memperingatkan Barat untuk tidak mencoba mengubahnya untuk melawan Rusia.
(*)