Intisari-Online.com - Gunung Semeru erupsi padaSabtu (4/12/2021) sekitar pukul 15.00 WIB.
Akibat dariGunung Semeru erupsi ini, 14 orang dilaporkan meninggal dunia.
Menurut Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Andiani, pada mulanya, Gunung Semeru mengeluarkan lahar.
Laludata seismogram menunjukkan amplitudo maksimum 25 milimeter.
Selanjutnya erupsi Semeru berupa awan panas mulai berguguran.
Meski begitu,Andiani menyebut status Semeru masih berada pada Waspada Level II dan evakuasi warga telah dilakukan sejak dua hari lalu.
Bicara soal erupsi gunung api selalu membuat kita panas dingin. Apalagi Indonesia memang memiliki banyak gunung api aktif.
Walau begitu, itu tidak berlaku untuk gunung api yang satu ini.
Menurut ilmuwan NASA, jika Gunung Agung meletus, malah kita harus bahagia.
Loh kok gitu?
Dilansir dari The New York Times pada Senin (6/12/2021), kabar ini sempat menjadi bahan pembicaraan padaFebruari 2018 silam.
Pada saat itu, NASA rupanya berharap bisa memanfaatkan meletusnya Gunung Agung.
Tujuannya gunamempelajari efek lebih lanjut.
Mereka berharap, dengan melacakletusan Gunung Agung, maka mereka bisa tahu lebih banyak tentang bagaimana bahan kimia yang dilepaskan ke atmosfer.
Ini tentu bisa membantu mereka untuk melawan perubahan iklim.
Pernyataan itu muncul setelah Gunung Agung meletus pada akhir November 2018.
Pada saat itu, gunung itu secara konsisten menuangkan uap dan gas ke atmosfer.
Fenomena ini dianggap begitu kuat sehingga menyebabkanapa yang dikenal dengan “musim dingin vulkanik”.
Fenomena itu mengingatkan para penelit tentang meletusnyagunung berapi terbesar, yaituGunung Tambora pada 1815.
Sebab dampak dari meletusnya Gunung Tambora bisamenyebabkan turunnya salju di Albany, New York, pada Juni setahun berikutnya.
Melihat hal itulah mereka berharap meletusnya Gunung Agung bisa menjadi kesempatan mereka untuk tahu bagaimana gunung api bisa mempengaruhi iklim seperti Gunung Tambora.
Selain itu, karakter Gunung Agung mirip denganGunung Pinatubo di Filipina yang disebut sebagai letusan terbesar abad ke-20.
Pada waktu itu,satu kubik mil batu dan abu ke udara dan 20 juta ton gas belerang dioksida dimuntahkan ke atmosfer.
Akibatnyagas itu mempengaruhi keseluruhan planet kita.
Selain itu,terjadi reaksi kimia, ketika gas bercampur dengan uap air. Hal tu menghasilkan tetesan “super dingin” kecil yang dikenal sebagai aerosol.
Selanjutnya,aerosol memantulkan dan menyebarkan sinar matahari ke bumi.
Akibatnya suhu global rata-rata turun satu derajat Fahrenheit selama beberapa tahun.
Menurut para ilmuwan itu, letusan Gunung Agung pada 2018 silam identik dengan meletusnya Gunung Pinatubo.
Itulah sebabnya NASA mengatakan meletusnya Gunung Agung malah membuat kita bahagia.
Sebab merekaberharap bisa mempelajari efeknya selama bertahun-tahun yang akan datang.