Intisari-Online.com - Operasi Seroja yang dimulai pada 7 Desember 1975 mengawali bergabungnya Timor Leste dengan Indonesia untuk 24 tahun selanjutnya, yaitu hingga tahun 1999.
Meski begitu, sejak bergabung dengan Indonesia, rakyat Timor Leste pro-kemerdekaan masih terus berupaya untuk melepaskan wilayah ini dari Indonesia.
Timor Leste akhirnya lepas dari Indonesia melalui referendum yang digelar pada 30 Agustus 1999.
Sebuah tragedi berdarah yang dikenal sebagai Peristiwa Santa Cruz, merupakan peristiwa yang dianggap mendekatkan Timor Leste pada kemerdekaannya.
Sejak terjadinya peristiwa tersebut, mata dunia tertuju pada Timor Leste yang bertahun-tahun lamanya telah menginginkan kemerdekaan.
Peristiwa Santa Cruz sendiri terjadi pada 12 November 1991.
Itu adalah peristiwa di mana militer Indonesia menembak dan membunuh ratusan warga negara Timor yang tengah berunjuk rasa di Pemakaman Santa Cruz di Dili, ibukota Timor-Leste.
Mencekamnya peristiwa itu berhasil diabadikan oleh seorang jurnalis asing bernama Max Stahl.
Rekaman itu menjadi satu-satunya bukti video yang menangkap peristiwa Santa Cruz.
Stahl merekam tentara yang menembak, memukuli, dan menyeret orang.
Ia sempat ditangkap dan diinterogasi, tetapi ia berhasil menyelamatkan rekaman itu dengan menguburnya lebih dulu di pemakaman.
Berkat penyelamatan bukti video tersebut, apa yang terjadi di Timor Leste akhirnya sampai ke mata dunia.
Rekaman itu membawa titik balik dalam sejarah perjuangan Kemerdekaan Timor Leste.
Kelompok solidaritas dibentuk di banyak negara, termasuk Irlandia.
Indonesia berada di bawah tekanan berat untuk mengizinkan referendum kemerdekaan, yang akhirnya diadakan pada tahun 1999.
Delapan tahun setelah peristiwa Santa Cruz, Timor Leste lepas dari Indonesia dengan hasil referendum menunjukkan mayoritas warga Timor Leste menginginkan kemerdekaan.
Awal Mula Tragdei Santa Cruz
Peristiwa Santa Cruz tak terjadi begitu saja, di hari peristiwa ini terjadi rakyat Timor Leste telah menyimpan kemarahan dan kekecewaan atas peristiwa lain.
Sebelum rakyat Timor Leste turun ke jalan untuk berunjuk rasa pada 12 November 1991, serangkaian peristiwa terjadi di Bumi Lorosae.
Kembali ke bulan Oktober 1991, ketika itu dijadwalkan akan ada delegasi dari anggota parlemen Portugal dan 12 wartawan akan berkunjung ke Timor Timur.
Mendengar kabar tersebut, para mahasiswa sudah antusias untuk menyambut kedatangan delegasi tersebut.
Baca Juga: Konsep Wawasan Nusantara: Beginilah Hakikat dari Wawasan Nusantara
Para mahasiswa pro-kemerdekaan berharap dengan datangnya delegasi serta 12 wartawan, maka akan membantu mereka menyuarakan isu-isu perjuangan di Timor Timur.
Namun, pemerintah Indonesia membatalkan rencana tersebut.
Indonesia keberatan bila kunjungan delegasi disertai para jurnalis, sementara di dalam negeri sendiri jurnalisme dibungkam.
Dari jauh hari sebelumnya, para pemuda Timor Leste telah mempersiapkan sambutan atas kunjungan delegasi Portugal tersebut.
Rupanya, gerakan mereka diketahui oleh pemerintah Indonesia.
Para pemuda Timor Leste yang membuat spanduk-spanduk penyambutan delegasi Portugal di gereja Moteal Dili pun terus diawasi gerak-geriknya oleh TNI.
Hingga pada malam 27 Oktober 1991, sekelompok provokator yang bekerja untuk intelijen Indonesia mengejek para aktivis pro-kemerdekaan dan memancing mereka untuk ribut.
Para pemuda Timor Leste pun terpancing dan terjadi perkelahian malam itu juga.
Pagi harinya, 28 Oktober 1991, jasad aktivis pro-kemerdekaan, Sebastio Gomez, ditemukan tergeletak di dekat gereja Moteal.
Kematian Sebastio Gomez memicu kemarahan rakyat Timor Leste, sehingga seusai misa, mereka melakukan unjuk rasa.
Terjadilah tragedi Santa Cruz yang menewaskan ratusan orang Timor Leste tersebut.
Untuk mengenang peristiwa Santa Cruz, sebuah patung didirikan di pinggir Pantai Motael. Sementara 12 November diperingati sebagai Hari Pemuda di Timor Leste.
Patung di pinggir Pantai Motael adalah sebuah patung yang menggambarkan seorang pendemo bernama Amali yang menolong pendemo lainnya bernama Levi.
(*)