Intisari - Online.com -Sebagai kerajaan kuno terbesar di Nusantara, Majapahit tentunya memiliki tentara yang mumpuni.
Pasukan kerajaan tentu harus sigap dan membantu Majapahit kapanpun kerajaan memanggil bantuan.
Termasuk ketika perang Majapahit dengan Demak pada abad ke-15 tepatnya pada 1478 Masehi.
Naskah babad menceritakan pada saat itu terjadi perang antara Majapahit dan Demak yaitu perang Sudarma Wisuta, yang konon menjadi perang yang mengakhiri riwayat Majapahit.
Dalam perang ini, Kesultanan Demak menang, dan para prajurit Majapahit kocar-kacir karena banyak yang gugur.
Akhirnya sebagian yang selamat melarikan diri mencari penghidupan, salah satunya adalah Wisang Sanjaya.
Wisang Sanjaya adalah prajurit Kerajaan Majapahit yang memiliki istri bernama Yudopati.
Mereka melarikan diri bersama senopati Tripoyo dan menetap di Dusun Gedangan.
Lolos dari kejaran prajurit Kesultanan Demak, Wisang Sanjaya dan istrinya tidak bisa tenang, karena kecantikan Yudopati membuat ia digilai gerombolan penjahat yang ingin mempersuntingnya.
Namun berkat bantuan dari senopati Tripoyo mereka selamat.
Tripoyo juga menemani ke mana pun mereka pergi.
Ada lagi yang menyatakan jika tujuan mereka akhirnya adalah Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul.
Wisang Sanjaya dan istrinya bersama senopati Tripoyo kemudian membaur dengan warga setempat yang menerima mereka dengan tangan terbuka.
Wisang Sanjaya konon memiliki senjata tongkat dan cemethi, yang mereka gunakan untuk menggores tanah yang kemudian berubah menjadi sungai.
Senjata itu sendiri juga mereka pakai untuk menghalau penjahat yang mengejar Yudopati karena akhirnya terbentuk bendungan dan saluran irigasi, membuat gerombolan penjahat kesulitan mengejar mereka.
Banyak warga di zaman itu merasa terbantu dengan kehadiran Wisang Sanjaya, hingga kisah pelariannya bersama Yudopati menjadi inspirasi sebuah upacara adat.
Upacara adat ini bernama Cing Cing Goling.
Upacara yang sudah menjadi tradisi ini dilaksanakan secara turun-temurun oleh warga Desa Gedangrejo, Karangmojo, Gunung Kidul.
Tradisi berupa warga akan memasak nasi gurih, dan memotong ratusan ayam yang dimasak menjadi ingkung dan beberapa lauk lainnya selain tempe dari bahan kedelai.
Uniknya, setelah proses memasak selesai, nasih gurih serta ingkung disajikan di tempat yang sudah ditentukan dan juru masak dilarang mencicipi makanan tersebut.
Baca Juga: Cing Cing Goling, Upacara Adat Gunung Kidul yang Terinspirasi dari Kisah Pelarian Prajurit Majapahit
Jika larangan dilanggar, dipercaya akan terjadi sesuatu yang tidak baik.
Selanjutnya, pemangku adat desa akan memimpin doa ucapan syukur bersama warga masyarakat.
Usai doa bersama, ingkung bersama nasi gurih, dibagikan ke pengunjung yang hadir dalam acara ritual Cing Cing Goling.
“Acaranya dilaksanakan di Bendungan Kali Dawe. Semua makanan itu, dibagikan untuk pengunjung,” ujar Sugiyanto, pemangku adat Desa Gedangrejo.
Upacara ini juga menjadi ungkapan rasa syukur terhadap hasil panen yang diberikan Tuhan yang Maha Kuasa.
Harapannya dengan dilaksanakan tradisi ini ke depan panen yang dihasilkan akan lebih baik lagi.
Upacara juga dilengkapi dengan atraksi cambukan dan pengejaran wanita oleh sejumlah pria.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?
Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini