Intisari-Online.com - Masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350–89) di Majapahit dikenang di Nusantara sebagai masa paling gemilang dalam sejarah Jawa.
Puisi Mpu Prapanca 'Negarakertagama' memberikan gambaran langka tentang kerajaan Majapahit dari sudut pandang abad ke-14.
Puisi tersebut awalnya disebut Desa warnana ("Deskripsi Negara"), menggambarkan Hayam Wuruk sebagai "candi sastra."
Prapanca berusaha untuk menunjukkan bagaimana keilahian kerajaan meresapi dunia dan tanah suci kerajaan Jawa yang sekarang tidak terbagi.
Puisi itu lebih menyerupai tindakan pemujaan daripada kronik.
Penyair tidak menyembunyikan niatnya untuk memuliakan raja, dan, dalam tradisi puisi Jawa, ia memulainya dengan meditasi.
Itu dilakukan untuk melakukan kontak dengan keilahian yang diwujudkan dalam diri raja.
Prapancha, setidaknya, tidak menganggap Hayam Wuruk punya tingkat otoritas yang tidak realistis.
Meski begitu, puisinya merupakan representasi dari atribut ketuhanan kerajaan dan efek dari aturan ketuhanan di Jawa.
Dalam perjalanan mereka di sekitar kerajaan, pejabat bawahan menegaskan otoritas kerajaan mereka mengenai pajak dan kontrol yayasan keagamaan.
Dengan tidak adanya sistem administrasi yang rumit, otoritas pemerintah diperkuat oleh perwakilannya di mana-mana, dan tidak ada yang memberi contoh yang lebih keras daripada raja sendiri.
Menurut Prapanca, "pangeran tidak lama berada di kediaman kerajaan," dan sebagian besar puisi menceritakan kemajuan kerajaan.
Salah satu bagian yang paling menarik dari Nagarakertagama adalah Upacara Tahun Baru, ketika kekuatan pemurnian raja diperkuat dengan pemberian air suci.
Upacara itu menegaskan bahwa satu-satunya negara yang terkenal adalah Jawa dan India karena keduanya punya banyak ahli agama.
Tidak ada waktu dalam tahun itu peran agama raja lebih diakui daripada di Tahun Baru, ketika para bangsawan kerajaan, utusan pengikut, dan pemimpin desa pergi ke Majapahit untuk memberi penghormatan.
Upacara diakhiri dengan sambutan kepada para pengunjung tentang perlunya menjaga perdamaian dan menjaga persawahan.
Raja menjelaskan bahwa hanya ketika ibu kota didukung oleh pedesaan, kota itu aman dari serangan “pulau asing”.
Karena puisi itu memuliakan raja, tidak mengherankan bahwa lebih dari 80 tempat di kepulauan digambarkan sebagai wilayah bawahan kerajaan Majapahit.
(*)