Intisari-online.com - Gajah Mada adalah maha patih terbesar yang dikenal dalam sejarah Majapahit.
Lahir tahun 1299, di sebuah desa terpencil di Sungai Brantas, sosoknya dikenal masih misterius hingga kini.
Namun dalam catatan kuno, ia adalah patih terbesar yang berhasil menyatukan Nusantara di bawah komandonya.
Selain itu Gajah Mada pernah menyelamatkan Prabu Jayanegara dan keluarganya dari pemberontakan Rakrian Kuti.
Ia memabantu Prabu Jayanegara melarikan diri ke Trowulan dan menumpas pemberontakan.
Lalu, dari sinilah Gajah Mada diangkat sebagai patih di Majapahit.
Pada saat itu Arya Tadah adalah Mahapatih Majapahit dia mengundurkan diri, dan mengusulkan digantikan Gajah Mada.
Gajah Mada menolak, dan ingin membereskan pemberontakan yang dipimpin Keta dan Sadeng.
Lalu baru menjabat sebagai mahapatih secara resmi di bawah pimpinan Ratu Tribhuwanatunggadewi.
Saat menjadi mahapatih, ia mengucapkan sumpah terkenal yang dikenal dengan sumpah Palapa, yang berbunyi:
"Lamun huwus kalah nusantara, ingsun amukti palapa. Lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjung Pura, rung Haru, ring Pahang, Dompo, ring Baki, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa."
"Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa (kesenangan), sebelum menaklukkan pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasin, aku takkan mencicipi palapa."
Awalnya banyak yang meremehkan Gajah Mada, namun dia membuktikan sumpahnya selama 21 tahun antara 1336-1357, dirinya melakukan misi ke nusantara dan berhasil menguasai 30 wilayah.
Wilayah ini antara lain, Bedahulu (Bali) Lombok, Palembang, Sriwijaya, Tamiang, Samudera Pasai, Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga, Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludug, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalong, Tanjungkutai, dan Malinau.
Seluruh wilayah itu diayomi dengan semboyan Bhineka Tinggal Ika, tan hana dharma mangrwa, dan Mitreka Satata, yang artinya, meski berbeda-beda tetapi tetap satu, sebab tidak ada dharma (kewajiban) yang berbeda.
Di bawah Gajah Mada wilayah Majapahit makin luas, dan menjadikannya masa kejayaan kerajaan Sriwijaya.
Namun sayangnya nasib Gajah Mada berakhir menyedihkan.
Pada Masa Hayam Wuruk, Gajah Mada dijadikan kambing hitam gagalnya pernikahan Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka dari Kerajaan Sunda.
Petinggi Majapahit menyalahkannya, dan mempolitisasi pernikahan Hayam Wuruk, Gajah Mada pun jadi bulan-bulanan, sampai diburu prajurit Majapahit.
Pernah dikisahkan, rumah Gajah Mada disergap prajurit Majapahit, namun tak ada yang berani keluar, hanya sang istri yang berada di rumah, sedangkan Gajh Mada melakukan semedi.
Namun, karena Gajah Mada tak ada prajurit itu merusak pagar masuk rumah dan mencuri harta bedan Gajah Mada.
Dalam persembunyianya, Nyi Patih, bertemu pria yang elok rupanya, namun memiliki tigkah seperti suaminya.
Pria ini mengatakan dirinya melarikan diri dari Majapahit karena orang-orang marah padanya.
Sang istri pun mengenali bahwa itu adalah suaminya Gajah Mada.
Lalu, ia langsung berdandan, dan berselubung dengan kain putih dan siap melakukan mati bela, demi suaminya dengan menusukkan sebuah keris ke dadanya, demi kesetiaannya menemani Gajah Mada sampai akhir hayat.
Mengetahui istrinya mati bela demi dirinnya, Gajah Mada mengembara ke kampung halaman, dan mencari keselamatan dirinya dan keluarganya.
Dalam kitab Kakawin Negarakertagama, ia menuju wilayah Lumajang dan memilih bertapa di Madakaripura di pedalaman Probolinggo selatan, daerah kaki pergunungan Bromo-Semeru.
Gajah Mada melakukan moksa yang merupakan cara mengembalikan tubuh jiwa dan raga.