Intisari-Online.com -Pertambahan total utang pemerintah selalu menjadiisu sensitifdi Tanah Air.
Saat ini total utang negara mencapai Rp6.625,43 triliun.
Utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun terus mengalami kenaikan, baik di periode pertama maupun periode kedua pemerintahannya.
Jadi, lonjakan utang memang sudah terjadi jauh sebelum pandemi Covid-19.
Dikutip Kompas TV dari laman APBN KiTa September 2021 yang dirilis Kementerian Keuangan, utang pemerintah per Agustus 2021 tersebut naik dibandingkan sebulan sebelumnya.
Utang per Juli 2021 adalah sebesar Rp6.570,17 triliun.
Dalam sebulan, pemerintah Presiden Jokowi sudah menambah utang baru sebesar Rp55,26 triliun.
Penyebab tingginya utang pemerintah saat ini kemudian dijelaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Sri Mulyani mengatakan, lonjakan utang Indonesia tidak terjadi begitu saja.
Menurutnya, utang Indonesia sudah parah sejak puluhan tahun lalu, dan memburuk saat krisis moneter tahun 1997-1998.
Dikutip dari Kontan, Rabu (27/10/2021), Sri Mulyani menjelaskan, “Waktu ada krisis 1997-1998 dengan adanya bail out, makanya utang kita (negara) sangat tinggi karena obligasi. Jadi ujung-ujungnya adalah beban negara.”
Sri Mulyani menjelaskan, saat itu banyak perusahaan dan perbankan yang meminjam dolar Amerika Serikat (AS), termasuk obligasi pemerintah.
Hal itu menjadi beban untuk Indonesia.
Sebab, nilai tukar rupiah terus terkoreksi, mulai dari Rp2.500 per dolar AS sampai dengan sekitar Rp17.000 per dolar AS.
Selain lonjakan utang, kala itu pemerintah juga berusaha memberikan stimulus pada perusahaan agar tidak semakin banyak yang buntung dan menjaga keberlangsungan ekonomi.
Sri Mulyani juga menjelaskan, kenaikan utang pemerintah ibarat dua sisi, bisa menjadi penggerak ekonomi. Sebaliknya, bisa menjadi beban apabila tidak dikelola secara baik.
Ia menyebut, pengelolaan anggaran negara tak bisa dilepaskan dari utang, seperti melansir Kompas.com.
Utang pemerintah dipakai untuk menambal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).