Intisari-Online.com - Pada 1996, nama Jose Ramos-Horta, bersama rekan senegaranya Uskup Carlos Belo, pernah begitu harum di dunia internasional.
Hal ini terjadi usai dirinya dan Belo mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian yang sangat prestisius.
Padahal, sebenarnya dia bukanlah sosok yang berjibaku langsung dengan militer Indonesia saat ingin memerdekakan Indonesia.
Ramos-Horta lebih memilih untuk berkeliling dunia, demi mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk PBB.
Salah satu yang menarik dari Presiden Timor Leste kedua ini adalah bagaimana dirinya memilih untuk tidak menyeret Indonesia ke pengadilan internasional.
Padahal, saat itu, posisi Indonesia sangatlah lemah di mata dunia internasional.
Tindak-tanduk Indonesia di wilayah yangpernah menjadi provinsi ke-27 bahkan sempat membuat Amerika Serikat menerapkan embargo senjata.
Selama 10 tahun, dari 1995 hingga 2005, AS menyetop pasokan senjata untuk Indonesia, termasuk suku cadang, karena menilai Indonesia bertanggung jawab atas penembakan demonstran di Dili, Timor Timur, pada 12 November 1991.
Banyak yang penasaran bagaimana Ramos-Horta pada akhirnya memilih untuk tidak menuntut keadilan atas segala tindakan Indonesia di Timor Timur.
Baru saat dirinyaberbicara tentang konflik masa lalu dalam pagelaran Expo 2020 Dubai, pria kelahiran 26 Desember 1949 ini angkat bicara.
Dalam pidato bertajuk'Timor Timur dan Indonesia – Contoh Kepemimpinan dalam Rekonsiliasi dan Persaudaraan di Asia', Ramos-Horta menguak bagaimana kedua negara akhirnya mencapai solusi Damai.
Seperti diketahui, Timor Timur, yang kemudian berganti nama menjadi Timor Leste, secara resmi lepas dari Indonesia dan dinyatakan merdeka pada 2001.
Keputusan tersebut dicapai setelah sebagian besar rakyat Timor Leste memilih untuk lepas dari Indonesia, saat referendum 1999.
Ramos-Horta dengan bangga menyebut penyelesaian konflik Indonesia dan Timor Leste patut untuk menjadi contoh dalam berbagai penyelesaian konflik di belahan dunia lain.
“Penyelesaian konflik Timor Timur-Indonesia adalah contoh yang bagus tentang bagaimana solusi damai dapat ditemukan untuk masalah yang paling sulit,” tutur Ramos-Horta, seperti dilansir khaleejtimes.com, Selasa (12/10/2021).
Ramos kemudian mengakui bahwa saat itu dirinya mendapatkan desakan kuat untuk menyeret Indonesia ke pengadilan internasional.
Namun, Ramos-Horta kemudian menyebut bahwa dirinya, yang mewakili rakyat Timor Leste, lebih memilih jalur rekonsiliasi.
“Kami dengan tegas menolak saran tersebut dan memilih jalur rekonsiliasi, yang diilhami oleh Nelson Mandela. Sejarah menunjukkan bahwa kami benar.”
Perdana Menteri Timor Leste kedua ini juga mengakui dirinya terus dicecar dengan pepatah "tidak ada keadilan, tidak ada perdamaian".
Hanya saja, bagi Ramos Horta, memaksa untuk tetap menuruti pepatah tersebut adalah sebuah cara memecahkan masalah yang menjengkelkan.
“Ya, kita harus menghormati mereka yang telah meninggal selama konflik, tetapi yang lebih penting adalah memikirkan masa depan mereka yang masih hidup,” tambahnya.
“Kita harus mengambil pelajaran dari kekejaman yang terjadi, sehingga kita dapat mencegah terulangnya kembali.”