Memiliki Citra Buruk di Masyarakat Indonesia hingga Dicap Pengkhinat Bangsa, Rupanya PKI Ternyata Berperan Dalam Pembebasan di Tanah Papua, Begini Kisahnya

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

DN Aidit (kanan) berbincang dengan Presiden Soekarno.
DN Aidit (kanan) berbincang dengan Presiden Soekarno.

Intisari-Online.com - Pada masa Orde Lama, Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat menjadi salah satu partai terbesar di dunia.

Tapi Peristiwa G30 September menghancurkan PKI ke titik nol.

Mereka dituduhg jadi dalang kudeta dan pembunuhan tujuh jenderal.

Imbasnya ratusan ribu orang yang dicap komunis dibantai.

Soeharto membubarkan PKI. Marxisme dan Komunis jadi ajaran terlarang di Indonesia hingga dianggap pengkhianat bangsa.

Baca Juga: Lima Tokoh Komunisme Beserta Propaganda Mereka untuk Memimpin Negara-negara Kekuasaannya, Siapa Saja?

Melansir Tribunnews, Geogri Afrin, mantan Koresponden TASS naungan Kantor Berita Uni Soviet saban hari mewawancarai Ketua Central Comite (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit soal nasib Papua atau disebut Irian Barat, saat itu.

Wajah Aidit yang diwawancarai di Jakarta, medio 1961, menghiasi televisi bertepatan pada Kongres ke-12 Partai Komunis Uni Soviet.

Momentum itu memantik perhatian dunia, terlebih bagi negara-negara berhaluan kiri.

Baca Juga: Inilah Daftar Negara Komunis Tahun 2021 Serta Negara Mana Saja yang Melepas Status Komunisnya

Dalam wawancara, Aidit melayangkan gagasannya tentang memperjuangkan antikolonialisme dan penghapusan feodalisme.

Gagasan itu pun masuk dalam agenda kongres Partai Komunis sedunia.

"Mempersatukan dan memobilisasi rakyat Indonesia guna membebaskan wilayah negerinya yang masih dijajah kolonialis Belanda, yaitu Irian Barat," kata Aidit kepada Georgi, dilansir Harian Rakjat, 24 Oktober 1961.

Hal yang sama pernah ia lantangkan saat resolusi Indonesia soal Irian Barat kandas dalam sidang Majelis Umum PBB.

Medio Desember 1954, Aidit berorasi soal hasil pemungutan suara atas konflik Irian Barat.

Baca Juga: Dulunya Jadi Negara Boneka Uni Soviet, Negara-negara Bekas Komunis Ini Ternyata Malah Terkenal Karena Produk Jam Tangannya, Tak Kalah dengan Swiss

Ia menuduh Amerika Serikat sebagai pemimpin komplotan gelap yang menentang resolusi Irian Barat, dengan maksud terselubung.

Upaya diplomasi Indonesia di Majelis Umum PBB kala itu selalu buntu, sejak 1954 hingga 1957.

Melihat dinamika itu, Aidit geram.

Secara sinis, ia menyentil PBB telah tunduk kepada Amerika dan negara-negara Blok Barat lainnya.

Dilihat kasat mata, Amerika memang lebih condong ke Belanda.

Baca Juga: Pantesan Orang Kaya di China Mencak-mencak, Dikenal Sebagai Negara Adidaya Rupanya Nasib Orang Kaya di China Justru Makin Terhimpit Gara-gara Peraturan Ini

Ini terlihat dari sikap negara Superpower tersebut yang menyatakan abstain saat sidang Majelis Umum PBB soal Irian Barat.

Oktober 1957, sentimen anti Belanda di Tanah Air kian melebar menyusul gagalnya resolusi di forum internasional.

Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja membuat keputusan untuk melancarkan kampanye pembebasan Irian Barat lewat komite aksi yang dibentuk di berbagai daerah.

Mereka menuntut pembebasan Irian Barat.

Demikian juga gerakan serupa di berbagai kota lainnya.

PKI menyatakan dukungan sepenuhnya demi bebasnya Irian Barat dari cengekraman kolonialisme.

Baca Juga: Latar Belakang dan Jalannya Pemberontakan PKI Madiun 1948 Lengkap

"Asia sekarang, adalah Asia bangsa-bangsa merdeka, yang tidak akan membiarkan imperialis menginjak hak-hak rakyat Indonesia," ujarnya.

Awal 1960 adalah puncak gunung es. Hubungan Belanda dengan Indonesia semakin panas, dan Presiden Soekarno memutuskan hubungan diplomatik.

Indonesia semakin mesra dengan Uni Soviet.

Peralatan tempur militer Indonesia dimodernisasi, dan mereka disiapkan untuk dikirim bertempur melawan pasukan Belanda di Irian Barat.

Periode ini, bersamaan upaya perundingan demi penentuan nasib Irian Barat apakah kembali ke Indonesia atau bercokol di cengekraman Belanda.

(*)

Artikel Terkait