Intisari-Online.com - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden langsung mengadakan pertemuan darurat setelah Korea Utara uji coba rudal jelajah jarak jauh.
Presiden Biden mengadakan pertemuan dengan pejabat dari Jepang dan Korea Selatan.
Sebab waktu Korea Utara uji coba rudal jelajah jarak jauh sangat mendadak.
Para ahli khawatir uji coba rudal itu akandilengkapi dengan hulu ledak nuklir.
Kantor Berita Pusat Korea (KNCA) resmi Korea Utara menggambarkan rudal itu sebagai "senjata strategis yang sangat penting".
Dilansir dari express.co.uk pada Rabu (15/9/2021), rudal itu mampu terbang sejauh 1.500 km sebelum mengenai target mereka dan jatuh ke perairan teritorial negara itu selama tes pada hari Sabtu dan Minggu.
Sikap mendadak Korea Utara itu membuat tiga negara besar itu panik.
Alhasil, ketiga negara sedang mendiskusikan cara untuk memecahkan kebuntuan dengan Korea Utara mengenai senjata nuklir dan program rudal balistiknya, yang telah mendorong sanksi internasional.
Hal itu disampaikan olehSung Kim, utusan khusus AS untuk Korea Utara.
Dalam pertemuan dengan timpalannya dari Jepang Takehiro Funakoshi dan timpalan Korea Selatan Noh Kyu-duk, Sung Kim bersikeras Washington terbuka untuk diplomasi untuk menangani masalah Korea Utara.
Gedung Putih mengatakan AS masih bersedia untuk terlibat dengan Pyongyang.
Meskipun pemerintahan Presiden AS Joe Biden sejauh ini tidak menunjukkan kesediaan untuk melonggarkan sanksi.
Pyongyang sendiri mengatakan tidak mendeteksi tanda-tanda perubahan kebijakan dari Amerika Serikat.
Termasuk soal sanksi yang sedang berlangsung serta latihan militer bersama dengan Korea Selatan, yang diyakini siap untuk serangan.
Sementara AS adalah sekutu dekat militer dan ekonomi Jepang dan Korea Selatan.
Hubungan AS dan tiga negara itu memang sering tegang.
Karena mereka punya banyak masalah.Termasuk sengketa kedaulatan, pendudukan Jepang 1910-45 di semenanjung Korea, dan sejarah masa perang mereka.
Rudal jelajah Korea Utara umumnya kurang diminati daripada rudal balistik karena tidak secara eksplisit dilarang di bawah resolusi Dewan Keamanan PBB.
Namun, para analis telah memperingatkan menyebutnya "strategis" bisa berarti itu adalah sistem berkemampuan nuklir.
Tidak jelas apakah Korea Utara telah menguasai teknologi yang dibutuhkan untuk membangun hulu ledak yang cukup kecil untuk dibawa pada rudal jelajah.
TetapiPemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong Un mengatakan awal tahun ini bahwa negaranya telah mengembangkan 'bom' yang lebih kecil.
Internasional (IAEA) mengatakan Korea Utara tampaknya telah memulai kembali reaktor nuklirnya di fasilitas Yongbyon, yang secara luas diyakini telah memproduksi plutonium untuk senjata nuklir.
Serangkaian uji coba rudal Korea Utara pada tahun 2017 meningkatkan ketegangan secara dramatis.
Sementara perkiraan persenjataan nuklir negara saat ini berkisar antara 15 dan 60 senjata, mungkin termasuk bom hidrogen.