Intisari-Online.com -Risiko strategis kian meningkat di sepanjang Asia Timur Laut, kini wilayah itu sangat membutuhkan kerangka dialog keamanan, seperti disampaikan pakar di Seoul Kamis lalu.
Hal ini berkaitan dengan upaya menghentikan perkembangan nuklir Korea Utara, yang jika gagal ternyata bisa menyebabkan keguncangan dunia.
Pasalnya jika denuklirisasi tidak berhasil, kondisi berbagai negara di sekitar Korea Utara akan makin terguncang, seperti dikatakan Moon Chung-in, mantan penasihat Presiden Korea Selatan Moon Jae-In, dikutip dari Asia Times.
Ia berbicara terkait dialog AS-Korea Utara dan antar Korea untuk denuklirisasi di semenanjung sedang dalam tahap pembekuan yang tidak pasti, serta persaingan senjata masif yang luput dari perhatian media sedang terjadi di wilayah itu sementara konfrontasi China-AS tunjukkan tanda akan terus berlanjut.
Bulan lalu, Menteri Pertahanan Jepang Nobuo Kishi memberi kode bahwa negara-negara G3 akan meningkatkan belanja militer melampaui tradisi 1% dari GDP.
Belanja militer Beijing sendiri sudah terbesar kedua di dunia setelah AS.
Januari kemarin, Korea Utara umumkan perkembangan dari senjata baru mereka, sementara Korea Selatan menghabiskan biaya tidak terkira ketika mencari cara memenuhi standar untuk memindahkan kontrol operasi waktu perang untuk pasukan Korea Selatan dari AS.
Lebih mengkhawatirkan lagi, penerimaan wilayah untuk Korea Utara sebagai kekuatan nuklir permanen dapat memicu apa yang disebut Moon sebagai 'efek domino' di sepanjang wilayah.
Pasalnya negara-negara itu akan buru-buru menyiapkan senjata nuklirnya.
Kebutuhan arsitektur keamanan baru
"Ini sangat berbahaya," ujar Moon.
"Jika kita gagal mendenuklirisasi Korea Utara akan ada suara tumbuh untuk memperkuat senjata nuklir Korea Selatan, kemudian Jepang dan bahkan Taiwan. Ini benar-benar skenario sesuai mimpi buruk."
Sementara pemerintahan Moon Jae-in di Seoul adalah aliran kiri dan anti-nuklir, pemilihan presiden diadakan Maret mendatang.
Beberapa suara di Korea Selatan terutama dari pihak kanan berargumen negara itu membutuhkan kekuatan nuklir mandiri.
Lebih jauh lagi, walaupun beberapa mengatakan keyakinan ini abai terhadap tantangan teknis yang terlibat, diyakini bahwa Jepang memiliki kemampuan mempersenjatai diri mereka sendiri dengan senjata nuklir beberapa bulan saja jika kondisi politik mengharuskan mereka.
Dalam makna pembicaraan stabilitas keamanan regional, Moon menyarankan negosiasi 6 pihak melibatkan China, Jepang, dua Korea, Rusia dan AS.
Pihak-pihak tersebut dulunya sudah terlibat dalam berbagai pembicaraan yang dipimpin Beijing yang akhirnya gagal mendenukliriasi Korea Utara antara 2003-2009.
Moon menyarankan format itu diselamatkan dengan mandat yang lebih luas.
"Kita memerlukan arsitektur keamanan seperti ini di bagian bumi ini, atau bagian dunia ini akan menjadi sangat berbahaya," ujarnya.
Wilayah Asia Timur sendiri memang kritis bagi dunia.
Bersama dengan Eropa Barat dan Amerika Utara, Asia Timur Laut adalah tiga zona utama dalam aktivitas ekonomi, juga menjadi titik potensi kekuatan.
Di dalamnya, Korea Utara yang bersenjata nuklir menghadapi Korea Selatan, Jepang dan AS.
China sendiri terlibat ketegangan melawan Taiwan, yang mereka anggap sebagai bagian dari provinsi mereka, dan terlibat dalam sengketa wilayah maritim dengan Jepang sekitar Kepulauan Senkaku.
Jepang dan Korea Selatan bukanlah musuh militer satu sama lain tapi selalu dalam kondisi diplomatik yang penuh ketegangan.
AS, yang memiliki pasukan besar di Korea Selatan dan Jepang, berusaha menyeimbangkan persekutuan dengan Seoul dan Tokyo sementara mereka mengawasi Inisiatif Keamanan Proliferasi yang memonitor perkapalan Korea Utara, dan memimpin kelompok Quad bersama Australia, India, Jepang dan AS sendiri.
Wilayah itu juga melihat persekutuan tidak resmi merebak antara China dan Rusia, yang mempertahankan pasukan di Timur Jauh Rusia.