Intisari-Online.com – Ketika berbicara soal protes, maka kelas bawah Amerika pada pergantian abad memiliki sejumlah keadaan yang menyulitkan untuk dipilih.
Tetapi tidak ada yang begitu luar biasa, dan hanya sedikit yang begitu besar, seperti terjadi Kerusuhan Tonsilektomi tahun 1906.
Masalah dimulai tahun itu di New York City, ketika wabah tonsilitis terjadi di rumah petak yang penuh sesak, membuat banyak anak-anak dipulangkan dari sekolahnya.
Keluarga kelas menengah sering memilih untuk mengakhiri siklus dengan operasi amandel.
Tetapi wanita yang bekerja 12 jam sehari tidak punya waktu untuk mengantar anak-anak mereka ke kota, mereka juga tidak mampu membayar biaya dokter 50 sen.
Maka, kepala sekolah P.S. 100 di Cannon Street mengatur acar amal di seluruh sekolahan, yaitu mendatangkan dokter dari rumah sakit Gunung Sinai untuk melakukan operasi secara gratis selama jam sekolah.
Tentu saja, anak-anak sekolah itu harus meminta izin dari orangtua mereka.
Tetapi, mayoritas muridnya adalah imigran Yahudi yang keluarganya hanya dapat berbicara bahasa Yiddish.
Delapan puluh tiga ibu menandatangani formulir dengan sedikit atau tanpa pemahaman tentang apa yang mereka setujui.
Dan mereka merasa ngeri ketika anak-anak pulang dari sekolah dengan air liur berdarah dan berjuang untuk berbicara.
Beberapa hari kemudian, surat kabar Yiddish Warheit menerbitkan editorial pedas yang mengklaim bahwa beberapa orang tua tidak pernah benar-benar menandatangani surat izin.
Percikan kemarahan ini tumbuh menjadi api dari mulut ke mulut di komunitas yang sebagian besar buta huruf.
Sampai para pengacau berteriak di sudut jalan bahwa 83 anak-anak Yahudi telah tewas dalam pembantaian yang disponsori pemerintah.
Bagi mereka yang baru saja lolos dari pogrom yang sangat nyata di negara lain, ceritanya lebih dari bisa dipercaya.
Pada pertengahan pagi, sekitar 50.000 ibu Yahudi telah bergegas ke sekolah dasar di seluruh Lower East Side.
Beberapa mulai memecahkan jendela untuk masuk, sementara yang lain mengambil alih tangga dan berusaha naik melalui lantai dua.
Beberapa pengamat menyerang yang, berdasarkan kacamata mereka, menyerupai dokter di mata massa.
Setelah dua jam kekerasan, sekolah secara resmi dibatalkan di seluruh wilayah.
Meskipun ketakutan masyarakat padam, ketegangan rasial terus muncul melalui surat kabar selama beberap aminggu.
Warheit memfitnah dugaan arogansi prinsipal Irlandia, sementara The New York Times menuduh bahwa histeria sengaja didorong oleh dokter Yahudi yang tidak suka harga operasi amandel mereka direndahkan.
Pada hari terakhir sekolah musim semi itu, polisi ditempatkan terlebih dahulu di luar dua sekolah yang didominasi Yahudi sementara anak-anak menampilkan drama akhir tahun mereka: The Merchant of Venice.
Untungnya, tidak ada yang kehilangan sedikit pun daging dari tubuh mereka hari itu, dan tidak ada yang memberontak.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari