Intisari-Online.com - Timor Leste punya beragam kuliner tradisional, salah satunya batar da'an.
Makanan tradisional Timor Leste tersebut terbuat dari jagung, juga labu dan kacang hijau.
Selain itu, dibumbui bawang merah, bawang putih, merica, dan garam.
Melihat dari bahannya, makanan yang satu ini merupakan menu sehat dan bergizi,
Belum lagi, batar da'an disebut cocok jika dipasangkan dengan hidangan daging atau ikan.
Juga cocok dinikmati sebagai hidangan utama dan biasanya disertai dengan nasi.
Tapi siapa sangka, menurut seorang pemilik restoran di negara tersebut, Mark Notaras, makanan ini justru tak banyak dilirik orang Timor Leste.
Mengutip Reuters (8/1/2019), Mark mengatakan bahwa hidangan tradisional seperti batar da'an, yang disajikan di restoran Agora Food Studio miliknya di ibu kota Dili, dipandang rendah sebagai "makanan orang miskin."
Kuliner tradisional ini pun jarang ditemukan di restoran di Timor Leste.
“Jika Anda datang mengunjungi Timor, Anda bisa makan di 150 restoran dan tidak pernah menemukannya di menu,” katanya kepada Thomson Reuters Foundation.
Ia pun berharap bahwa masyarakat Timor Leste bisa lebih meningkatkan minat mereka terhadap kuliner lokal untuk memerangi kekurangan gizi di negara ini.
“Kami mendorong masyarakat untuk makan lebih banyak makanan yang sudah ada di sekitar mereka untuk meningkatkan gizi mereka,” kata Notaras.
Notaras dan istrinya, Alva Lim, meluncurkan Pertukaran Inovator Makanan Timor-Leste (TLFIX) nirlaba pada 2018 untuk mendidik orang-orang di seluruh negeri tentang memasak dengan bahan-bahan lokal yang sehat.
Mereka berharap dapat membujuk mereka untuk melengkapi diet nasi putih dan mie instan dengan tanaman asli yang tumbuh di sana.
Timor Leste menghadapi masalah kesehatan serius, dengan kekurangan gizi terjadi di negara ini.
Negara termuda Asia Tenggara ini memiliki tingkat malnutrisi anak terburuk di Asia, dengan lebih dari 50 persen anak-anak menderita stunting -suatu kondisi yang secara permanen mempengaruhi perkembangan mental dan fisik mereka- menurut PBB.
Mengutip Channel News Asia, sebuah laporan IPC 2018 oleh mitra nasional dan pemerintah menemukan bahwa hanya seperempat dari populasi negara itu yang aman pangan.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa 36 persen adalah kerawanan pangan kronis, yang didefinisikan oleh ketidakmampuan jangka panjang untuk memenuhi persyaratan konsumsi makanan.
Sekitar 175.000 orang menderita kerawanan pangan dengan tingkat parah.
Kekuatan pendorong di balik kelaparan bangsa bervariasi menurut provinsi. Namun secara umum, penduduk setempat tidak mengakses atau mengonsumsi jenis makanan yang tepat.
Meningkatnya ketergantungan pada makanan impor berkualitas rendah, seperti beras putih bersubsidi dan, terutama, mie instan, dipersalahkan dalam masalah gizi buruk ini.
Perubahan gaya hidup masyarakat Timor Leste yang mulai meninggalkan makanan lokal juga disebut mempengaruhi kondisi ini.
“Saya berpikir, di masa lalu, masalah ini mungkin tidak separah ini. Ada yang berbeda dari diet kami.
"Cara nenek kita menyiapkan makanan jauh berbeda dari sekarang,” kata Filipe da Costa, Penasihat Ketahanan Pangan dan Gizi Perdana Menteri, dikutipo Channel News Asia.
Disebut, pengetahuan lama sedang dibuang untuk jebakan masyarakat modern, di mana semangkuk mie instan di meja keluarga lebih berharga daripada makanan asli atau makanan liar yang telah diandalkan orang Timor selama beberapa generasi.
“Kami memiliki banyak makanan di luar sana tetapi kami telah meninggalkannya.
"Orang bilang mereka tidak punya nasi untuk dimakan, atau jagung untuk direbus. Kerawanan pangan adalah pola pikir dan ada banyak makanan terlantar di luar sana,” kata da Costa.
Menurutnya, orang-orang harus kembali ke cara hidup mereka yang asli dan menjadikan makanan yang selama ini 'disembunyikan' untuk kembali dikonsumsi dengan menghadirkan inovasi.
(*)