Intisari-online.com -Nama kota Beirut, Lebanon, pernah menjadi perhatian dunia pada tahun 2020 lalu.
Tepatnya pada 4 Agustus 2020 terjadilah ledakan hebat di Beirut, Lebanon, yang mengakibatkan bencana hebat di negara itu.
Kini negara itu tak disorot lagi oleh banyak pihak.
Namun krisis mereka masih ada sampai sekarang.
Bahkan, UNICEF melaporkan krisis Lebanon akan memasuki fase terburuknya.
Melansir kontan.co.id hal ini dilihat dari pasokan air bersih ke seluruh negeri akan segera berhenti.
UNICEF pada Jumat (23/7) pekan lalu mengungkapkan, lebih dari 4 juta orang Lebanon berisiko kehilangan akses ke air bersih karena kekurangan dana.
Jumlah ini setara 70% populasi Lebanon 6,7 juta jiwa.
"UNICEF memperkirakan, sebagian besar pemompaan air secara bertahap akan berhenti di seluruh negeri dalam empat hingga enam minggu ke depan," ungkap badan PBB tersebut, seperti dikutip Reuters.
Krisis ini diciptakan oleh ekonomi Lebanon yang terus memburuk, mendorong lebih dari separuh penduduknya masuk ke dalam kemiskinan.
Kurang dari 2 tahun saja, mata uang Lebanon kehilangan lebih dari 90% nilainya.
Barang-barang pokok mulai dari bahan bakar dan obat-obatan sangat langka di pasaran selama beberapa tahun terakhir.
UNICEF mewanti-wanti jika sistem pasokan air publik runtuh maka biaya air bisa melonjak 200% per bulan.
Hal ini karena air didapat dari pemasok swasta.
"Jika tindakan penting tidak segera diambil, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas umum penting tidak akan dapat berfungsi," kata Perwakilan UNICEF di Lebanon, Yukie Mokuo.
Menurut hitung-hitungan UNICEF, Lebanon setidaknya membutuhkan sekitar US$ 40 juta per tahun untuk mengamankan tingkat minimum bahan bakar, klorin, suku cadang, dan pemeliharaan yang diperlukan untuk menjaga sistem pengairan yang kritis agar tetap beroperasi.
Bank Dunia menyebut Lebanon tengah mengalami krisis ekonomi terburuk di dunia sejak 1850-an.
Trading Economics menyebut ekonomi Lebanon berkontraksi (negatif) 20,3% tahun 2021 ini.
"Kontraksi brutal seperti ini biasanya terjadi dalam konflik atau perang," kata Bank Dunia dalam laporannya menyebut Lebanon.
Mata uang lokal bahkan jatuh ke rekor terendah terhadap dolar.
Pound Lebanon dijual dengan rekor 19.500 terhadap dolar AS, kurang dari sepersepuluh kurs resminya, di pasar gelap.
Cadangan mata uang asing Lebanon menipis.
Inflasi makanan mencapai 400%.
Kini, kekurangan uang di negara itu berdampak pada pasokan obat-obatan dan energi.
Apotek melakukan pemogokan karena kekurangan obat yang disebabkan kegagalan membayar importir asing.
"80% apotek tutup di Beirut dan kota-kota besar," kata Ali Safa, anggota asosiasi, dikutip AFP, Senin (12/7/2021).
Kekurangan bahan bakar menyebabkan pembangkit listrik utama negara mati total.
Kapal-kapal minyak dan gas menolak bongkar muatan sebelum pembayaran ditransfer ke rekening dalam mata uang dolar.
Selama beberapa puluh tahun, warga hanya menerima listrik 2 jam sehari yang dijatah.
"Pasokan listrik telah terputus di seluruh wilayah Lebanon tanpa batas," kata seorang warga dikutip BBC.
Air pun kini tak mudah lagi didapat, di mana warga mendapat penjatahan air.
Stasiun pompa ditenagai oleh diesel, dan kekurangan pasokan yang mereka butuhkan untuk berfungsi.
Mengutip mantan penasihat kementerian keuangan negara itu, Henri Chaoul, Lebanon kini seperti berada dalam 'kereta api menuju ke neraka'.
"Yang akan mencapai stasiun akhir," katanya ke CNBC Internasional.
Negara berpenduduk 7 juta orang itu disebut salah manajemen.
Padahal ini bukan krisis pertama, karena Lebanon pernah mengalami krisis serupa akibat perang saudara dari 1975 hingga 1990.