Intisari-Online.com - Suai merupakan kota di Timor Leste yang menjadi salah satu tempat paling menarik untuk dikunjungi di negara tersebut saat ini.
Di sana, ada pantai selatan Timor Leste, salah satu wisata alam yang bisa dinikmati di Bumi Lorosae.
Orang-orang di Suai sebagian besar bermata pencaharian berkisar pada penangkapan ikan.
Ketika berada di daerah ini, pengunjung dapat menonton tarian tradisional.
Selain itu, bisa juga berjalan di atas pantai batu pasir halus kota, dan menjelajahi Sungai Tafara.
Ini adalah kota yang patut untuk dikunjungi ketika datang ke Negara Timor Leste.
Bukan hanya pemandangan alam yang ditawarkan, tapi juga sisi gelap sejarah Timor Leste ada di sini.
Masa lalu Timor Leste yang berdarah, salah satu peristiwa yang merenggut nyawa ratusan orang terjadi di sini.
Pembantaian itu dikenal sebagai Pembantaian Gereja Suai, yang terjadi pada 6 September 1999, hanya beberapa hari setelah Referendum Timor Timur digelar.
Menurut laporan Komisi Penyelidik Internasional Timor Timur kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, ratusan orang telah mengungsi ke gereja Ave Maria dari serangan milisi Laksaur pro- Indonesia di kota itu.
Kemudian, milisi dengan dukungan militer Indonesia, disebut membunuh hingga 200 orang.
Dua puluh enam mayat diidentifikasi yang telah dikuburkan di seberang perbatasan di Timor Barat (Provinsi Nusa Tenggara Timur), tetapi saksi mata mengklaim lebih banyak lagi yang tewas.
Menurut pengakuan para penyintas, mengutip Washingtonpost(22/10/1999), sekelompok milisi pro-Indonesia terlibat dalam salah satu tindakan pembalasan paling berdarah terhadap rakyat Timor Timur, yang beberapa hari sebelumnya telah memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Disebut, mereka dipersenjatai dengan senapan serbu, parang dan granat tangan.
Menurut mereka, anggota milisi menyerang pendukung kemerdekaan di dalam kompleks gereja, memperkosa lusinan wanita dan membantai lebih dari 100 orang, termasuk tiga pendeta.
Saat itu, hasil referendum Timor Timur yang digelar pada 30 Agustus 1999 belum diumumkan hasilnya.
Tetapi, dengan cepat tersiar kabar bahwa lebih banyak orang memilih untuk merdeka dibanding mereka yang ingin bergabung dengan Indonesia.
Kabar tersebut memang pada akhirnya terbukti benar, Timor Leste kemudian merdeka dengan hasil referendum.
Namun, belum benar-benar resmi terbukti ketika kerusuhan terjadi pasca digelarnya Referendum.
Kacaunya suasana Timor Leste saat itu digambarkan dengan rumah-rumah dibakar, dan kebun ditinggalkan.
Infrastruktur apapun yang para milisi lewati dihancurkan. Membereskan ini akan menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi negara muda Timor Leste setelah merdeka.
Sementara itu, terlepas dari semua indikasi pembunuhan massal di sana, penyelidik tentara Australia dengan pasukan penjaga perdamaian internasional mengalami rintangan tidak biasa.
Mereka kesulitan dalam mencoba menentukan dengan tepat apa yang terjadi dengan kurangnya mayat yang dapat ditemukan.
Saksi-saksi mengatakan bahwa para anggota milisi membuang mayat-mayat itu dengan membakarnya di dekat gereja, memuat mayat-mayat yang hangus ke dalam truk dan kemudian membuangnya di salah satu dari beberapa danau yang dipenuhi buaya di tepi sungai pinggiran Suai.
Baca Juga: Kedudukan Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, Ini Beberapa Faktor Atau Gagasan yang Mendorongnya
Satu-satunya jejak yang tersisa dari pembantaian di Suai adalah puluhan selongsong peluru 7,62 milimeter, sepatu bekas, lubang peluru, dan genangan darah.
Di kemudian hari, lima pejabat Indonesia diadili di Indonesia atas peristiwa itu tetapi pada akhirnya dibebaskan.
Mereka adalah Letnan Kolonel Liliek Kusardiyanto, Kapten Ahmad Syamsudin, Letnan Sugito, Kolonel Polisi Gatot Subiaktoro, dan Bupati Herman Sedyono.
PBB menyebut mereka dan sebelas pria lainnya dalam sebuah dakwaan yang diajukan oleh Unit Kejahatan Berat PBB di Dili.
Mereka dituduh melakukan 27 kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk pembunuhan, pemusnahan, penghilangan paksa, penyiksaan, dan deportasi.
Baca Juga: Bulan Depan Indonesia Memperingati Kemerdekaan, Inilah Makna Proklamasi dalam Kehidupan Sehari-hari
(*)