Intisari-online.com -Serangan terbaru dalam konflik Israel-Palestina yang diluncurkan Israel telah membuat dunia berang kepada negara yang dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu itu.
Namun, bagi warga Palestina, serangan itu hanya berarti satu: pembantaian massal.
Profesor Universitas Al-Aqsa di Gaza, Haidar Eid, menulis di Al Jazeera yang menyebutkan jika tindakan Israel adalah de javu aparteid.
Eid pernah menulis di Al Jazeera tahun 2019 yang mengatakan jika warga Palestina di Gaza telah membuat pilihan mereka.
Baca Juga: Luluh Lantak Akibat Konflik Israel dan Palestina, Joe Biden Janji Bangun Ulang Gaza, Ini Sarannya!
Ia menulis: "Kami tidak akan mati dalam kematian yang lama dan tidak terhormat sementara berterima kasih kepada pembunuh kami dan bekerja di bawah pendipuan diri sendiri yang menggambarkan perbudakan kepada penjajah sebagai fait completi."
Eid menjelaskan perjuangan mereka bersifat non-sektarian, diabadikan dalam prinsip-prinsip dasar Deklarasi Internasional tentang Hak Asasi Manusia.
Serangan Israel terbaru telah menyerang Jalur Gaza, salah satu wilayah dengan jumlah populasi terpadat di muka bumi.
Korban termasuk warga sipil: anak-anak, wanita dan pria.
Sekitar 200 warga Palestina telah terbunuh, termasuk 40 anak keci.
Pada 15 Mei lalu, lusinan warga Palestina dibantai secara massal di Jalan Al Wehda, kota Gaza.
Staf medis juga tidak tertolong.
16 Mei, Dokter Ayman Abu Alouf kepala departemen pengobatan dalam di Kompleks Medis Al-Shifa terbunuh dengan hampir seluruh keluarganya.
Dengan jet tempur F-16 buatan AS, Israel telah mengebom dan meratakan lusinan bangunan tempat tinggal penduduk dan ratusan rumah.
Ambulans dan kru pertahanan sipil telah berupaya berhari-hari untuk menyelamatkan warga Palestina yang telah terkubur oleh puing-puing bangunan.
Beberapa menggunakan telepon genggam mereka mencari bantuan sebelum hembuskan nafas terakhir.
Bagi warga Palestina, hanya ada satu arti untuk ini semua: Israel mengejar warga sipil Palestina.
Israel telah menyebarkan doktrin Dahiya yang telah lama ada: kerangka pembantaian dan kehancuran yang digariskan oleh Gadi Eisenkot.
Eisenkot adalah kepala divisi utara angkatan bersenjata, setelah perang Israel tahun 2006 dengan Lebanon.
Kala itu, Israel hancurkan lingkungan Dahiya di Beirut lewat pengeboman udara selama 34 hari.
Eisenkot menyatakan: "Apa yang terjadi di daerah Dahiya di Beirut tahun 2006 akan terjadi di setiap desa tempat Israel ditembaki… dari sudut pandang kami, ini bukan sipil desa, mereka adalah pangkalan militer."
Bagi warga Palestina, artinya semua penduduk di Gaza adalah target militer Israel, termasuk bahkan seorang bayi yang baru lahir sehari.
Sementara tujuan utama Israel menyerang Palestina terus-terusan hanyalah satu: menyerahkan kependudukan mereka, klaim apapun untuk tanah itu.
Mantan Menteri Luar Negeri Israel Moshe Yaalon mengatakan tahun 2002 lalu, bagi militer Israel kemenangan hanya "menyadarkan warga Palestina dan Arab" jika "terorisme dan kekerasan tidak akan mengalahkan kami".
Namun bagi Palestina, mereka tidak berikan terorisme atau kekerasan apapun.
Eid berang konflik terbaru ini dianggap konflik yang setara.
"Presiden AS Joe Biden mengatakan apartheid Israel memiliki hak membela diri mereka sendiri.
"Fakta bahwa Israel memiliki tentara sendiri, kekuatan militer yang sangat jauh lebih besar daripada Palestina dan menjadi negara penjajah diabaikan seperti biasa, seperti halnya jumlah kematian yang sangat kontras.
"Biden, Boris Johnson, Angela Merkel dan pemimpin Barat lain dan "rumah Arab" mereka tidak mampu melihat masalah kemanusiaan di Palestina," ujar Eid dalam artikelnya tersebut.
Baca Juga: Inilah Negara yang Pertama Kali Mengakui Kemerdekaan Indonesia Bahkan Sebelum Deklarasi
"Meski dengan semua bukti tersebut, mereka menolak mengenali jika ini adalah penjajahan, dikirim oleh kekuatan yang ditaruh di era kolonial yang mencari cara menghapus seluruh kaum untuk mengesahkan kolonisasi mereka.
"Apa yang terjadi di Gaza adalah genosida, bukan "operasi keamanan". Dan meski begitu warga Palestina diminta menyerah kepada pilihan mati pelan-pelan, mati tanpa tujuan, menurut dan tidak memberontak dan menerima jika mereka meninggal karena melawan, itu semua salah mereka."
Pertanyaan dalam warga Palestina saat ini hanyalah: Mengapa ini diperbolehkan terjadi, 27 tahun setelah kegagalan rezim apartheid di Afrika Selatan?
Mereka tahu mengapa Israel melakukannya, karena mereka dianggap sebagai penduduk yang tidak diinginkan, pengungsi yang keberadaannya menjadi pengingat dosa asli mereka yang dilakukan pada tahun 1948, kejahatan penghapusan etnis warga Palestina.
Padahal perlu diingat dua pertiga penduduk Gaza adalah para pengungsi yang berhak kembali ke tanah mereka seperti diatur oleh Resolusi 194 Dewan Umum PBB.
"Tidak ada anak kecil, entah Yahudi, Hindu, Muslim, Kristen atau agama lain harus melihat apa yang dilihat anak kecil Palestina saat ini."
Eid menyebutkan warga Palestina tidak akan menerima perintah dari komunitas internasional yang terus-terusan membantu Israel dan menutupi kejahatan mereka.
Pembicaraan apapun tanpa memperbaiki kondisi penjajahan adalah pengkhianatan atas kemenangan warga Palestina atas kejahatan perang Israel.
Warga Palestina tidak ingin sisa-sisa lahan. Mereka menginginkan kepemilikan penuh di bawah hukum internasional.
Palestina menyerukan boikot untuk produk dan institusi Israel.
Terakhir, Eid berharap perang Gaza 2009 menjadi pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan tahun 1960, yang mana justru menghancurkan apartheid itu sendiri.
Eid juga berharap pembantaian Gaza 2021 menjadi dimulainya Timur Tengah yang lebih demokratis dengan negara Palestina yang sekuler dan demokratis bisa memperlakukan semua penduduknya dengan setara tanpa memandang agama, ras, dan gender.
Baca Juga: Mengenal Baju Palestina Tradisional, Gaya Pakaian Tergantung Wilayah dan Kelasnya
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini