Sosoknya yang terbilang pandai kemudian memang lulus dari sekolah kedokteran hingga menjadi pejabat kesehatan.
Jiwa-jiwa pemberontakannya mulai nampak saat ia memimpin redaksi Retnodhoemilah yang terbit 3 kali dalam satu minggu ketika itu.
Di sana, ia melontarkan gagasannya soal kebangkitan Jawa atau bangsa Jawa dan berharap bisa dibaca oleh kalangan masyarakat secara lebih luas.
Namun upayanya di Retnodhoemilah kurang membuahkan hasil, ia pun mundur dan menempuh jalan lain untuk memperjuangkan gagasannya.
Yakni dengan berkeliling menemui pemuka pemerintahan di Jawa seperti bupati dan kaum priyayi atas yang memiliki pengaruh untuk memulai sistem pendidikan modern, namun gagasannya banyak mengalami penolakan.
Akhirnya, ia diundang oleh dua siswa STOVIA Jakarta, Soetomo dan Soeradji untuk menyampaikan gagasannya di hadapan siswa-siswa STOVIA.
Gagasannya diterima, hingga terbentuk lah organisasi bernama Budi Utomo (BU) yang tidak hanya mengurus soal pendidikan, namun juga menyadarkan masyarakat Jawa terhadap keutamaannya sebagai bangsa.
Baca Juga: Mengenal 5 Tokoh Kebangkitan Nasional, Dari Dr. Sutomo hingga Douwes Dekker
2. Dr. Douwes Dekker
Douwes Dekker (DD) adalah seorang pejuang kemerdekaan yang meski lahir dan wafat di Indonesia, namun ia merupakan seorang berdarah asing.
Ia pernah belajar di Eropa tentang politik modern dan ketika kembali ke Indonesia, ia mengajarkan apa yang diketahuinya kepada semua orang, entah itu golongan pribumi, china, ataupun indo.
DD adalah pendiri partai Indische Partij (IP), ia mengajarkan apa itu partai politik, jurnalistik anti pemerintah, rapat akbar, dan sebagainya.
Douwes Dekker juga merupakan pemimpin dari surat kabar berbahasa Belanda De Express yang memperlihatkan kepada masyarakat perlawanan terhadap pemerintahan kolonial.
Di dalam IP dan De Express, ada sebuah slogan yang diperkenalkan yaitu "Hindia Belanda untuk warga Hindia Belanda".
Ini adalah upaya yang digiatkan untuk menentang pemerintahan penjajahan Belanda.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR