Intisari-Online.com -Dalam kurun waktu dekat, tepatnya pada 2022, jumlah orang Palestina dipastikan akan sama besarnya dengan jumlah orang Yahudi.
Kedua kelompok yang dalam hampir setengah abad saling berebut wilayah yang sama ini diperkirakan akan sama-sama berjumlah 7,1 juta juwa.
Populasi orang Palestina sendiri memang terus bertambah setiap tahunnya, namun mulai melambat.
Hal ini bisa terlihat dari total angka kelahiran warga Palestina yang mengalami penurunan cukup drastis.
Jika pada tahun 1999, tingkat kelahiran mencapai 4,6, namun pada periode 2017-2019 jumlahnya anjlok menjadi 3,8 saja.
Sementara di sisi lain, jumlah penduduk Yahudi terus bertambah seiring semakin banyaknya pemukiman Yahudi yang dibuka.
Di tanah yang tentunya dengan merebut lahan warga Palestina, mereka terus berkembang biak dengan segala jaminan dari pemerintah Israel.
Sebuah kondisi yang sangat jomplang jika dibandingkan dengan Palestina, khususnya Gaza yang kini telah membuat para calon mertua menjadi orang paling dilematis di sana.
Kondisi ekonomi di Palestina sendiri hancur lebur, terutama setelah pandemi Covid-19 melanda hampir seluruh dunia.
Jumlah pekerja di Palestina mengalami penurunan dengan rincian, 17% di Jalur Gaza dan 5,5% di Tepi Barat.
Sebuah kondisi yang pada akhirnya malah membuat dua kelompok masyarakat di sana berada dalam kondisi dilematis sekaligus frustasi.
Kedua kelompok yang dimaksud adalah para pemuda yang sudah matang dan ingin menikah serta para orang tua anak perempuan.
Di satu sisi, para anak muda mati-matian berjuang untuk bisa memperoleh penghasilan yang bisa mereka gunakan untuk menikah.
Namun, di sisi lain, para orang tua anak perempuan malah mengambil sebuah kebijakan yang bisa membuat para pemuda ini frustasi setengah mati.
Simak saja kisah dari dua pemuda Palestina di Jalur Gaza berikut ini.
Hussein Qandeel, seorang pria Gaza berusia 39 tahun, memiliki mimpi sederhana: mendapat pekerjaan untuk kemudian menikah.
Namun, faktanya itu adalah mimpi yang sangat mewah di negeri yang dikurung oleh Israel tersebut, bahkan bagi orang seperti Qandeel yang merupakan lulusan universitas tersebut
"Selama kuliah, saya dulu bekerja untuk membayar biaya kuliah saya sendiri. Setelah lulus, saya memulai perjalanan mencari pekerjaan yang membuatku frustasi, tetapi tidak pernah berhasil," kata Qandeel, dikutip dari MEE.
Qandeel mengakui kini dirinya sudah resmi mengubur impiannya untuk menikah, terutama setelah dirinya alami kecelakaan saat bekerja di bidang konstruksi, yang memang bukan keahliannya.
Sementara ituMahmoud al-Leli, seorang pemuda berusia 27 tahun bisa dikatakan mimpinya sebenarnya hampir saja menjadi kenyataan.
Dia sudah berhasil mengumpulkan uang untuk mahar, walau dengan berdarah-darah bahkan sampai harus melibatkan pinjaman.
"Aku sangat mencintainya, dan aku sudah lama bermimpi bahwa kami akan bersama selamanya. Tapi sepertinya cita-citaku itu terlalu tinggi" kata Mahmoud.
Ya, cinta yang sangat besar dariMahmoud kepada kekasihnya harus kandas, secara khusus di tangan calon mertuanya sendiri.
Selain karena asal-usul uang maharnya yang sebagian berasal dari pinjaman terbongkar, tawaran tempat tinggal yang disodorkanMahmoud juga ditolak oleh orang tua dari wanita idamannya.
Mahmoud yang kesulitan memiliki rumah sempat mendapatkan hak untuk menggunakan sebagian rumah orang tuanya untuk menjadi tempat tinggalnya kelak bersama calon istrinya.
Sayang, sang calon mertua tak sudi menerima hal tersebut.
Padahal, berdasarkan data statistik, rata-rata ukuran rumah tangga di antara warga Palestina menurun secara drastis.
Jika pada 2004, sebelum terjadinya blokade oleh Israel pada 2007, angka rata-ratanya mencapai 6,1, namun pada 2019, angkanya turun menjadi 5,1.
Ya, terasa sangat aneh pada akhirnya ketika para orang tua menentukan standar uang mahar dan rumah yang sangat tinggi, sementara kondisi Palestina sendiri tengah karut-marut akibat pendudukan Israel.