Intisari-Online.com - Pada tahun 1995, sebuah makalah parlemen Australia mencatat perjanjian keamanan yang sangat penting antara Australia dan Indonesia.
Kedua negara menunjukkan kemajuan Australia dalam "mengembangkan salah satu hubungan bilateral kami yang paling penting tetapi paling sulit".
Ini bukan hanya tentang ancaman eksternal, ini tentang seluruh lingkungan kawasan.
Australia dan Indonesia memiliki kesamaan pandangan dan kepentingan dalam pandangan strategis kawasan.
Tetapi dengan kekalahan pemilihan Paul Keating hanya beberapa bulan kemudian, diikuti oleh krisis keuangan Asia, penggulingan mantan presiden Indonesia Jenderal Suharto, krisis Timor Leste, dan fokus yang bergeser pada pengaruh China yang tumbuh, hubungan itu goyah.
Misalnya, keterlibatan kontroversial Australia dalam krisis Timor Leste 1999 menjadi penanda ketidakpercayaan antara Indonesia dan Australia.
Kemudian selanjutnya seputar kemerdekaan Papua Barat.
Pendirian Australia dapat ditelusuri kembali ke Perjanjian Lombok yang ditandatangani pada tahun 2006, setahun setelah 43 orang Papua Barat tiba di Australia untuk mencari suaka dan diberikan visa perlindungan.
Kesepakatan tersebut menetapkan bahwa kedua negara tidak akan mencampuri urusan dalam negeri, serta menghormati kedaulatan satu sama lain dan tidak mendukung tindakan "separatis".
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang Indonesia yang marah dengan liputan media Australia tentang Papua Barat.
Mereka menyebut banyak dari pemberitaan itu merupakan pemberitaan "sepihak," terutama karena menyediakan platform bagi pengacara hak asasi manusia Veronica Koman, yang didakwa di Indonesia karena menjadi "provokator."
Keputusan dewan lokal Sydney untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat pada 2019 juga menimbulkan kontroversi dengan Konsulat Jenderal Indonesia di Sydney.
Dia mengatakan langkah tersebut bisa "disalahartikan untuk mewakili dukungan dari Pemerintah Australia."
Terhadap gerakan separatis di Papua, Indonesia teguh dalam pendiriannya bahwa kawasan itu telah menjadi bagiannya yang bersatu sejak referendum yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan bahwa setiap kerusuhan adalah masalah domestik.
(*)