Intisari-Online.com - Jerman Nazi menginvasi Yugoslavia pada tahun 1941.
Mereka merebut Sarajevo dan Gestapo, lalu membuka kantor di sana.
Kantor yang mereka buka berada di seberang jalan dari rumah keluarga Hardaga.
Dilansir dari thevintagenews.com pada Rabu (12/5/2021), Mustafa dan Zejneba Hardaga adalah Muslim yang tinggal di Sarajevo pada saat Nazi merebut kota itu.
Nazi menjarah sinagoga tua (nama tempat beribadah orang Yahudi), dan gulungan Taurat berusia 400 tahun dibakar.
Karena kantor Gestapo berada tepat di seberang rumah keluarga Hardaga, mereka dapat mendengar jeritan para tahanan yang disiksa di sel penjara Gestapo pada malam hari.
Di tengah kebrutalan tersebut, Mustafa dan Zejneba Hardaga memutuskan untuk menerima teman Yahudi dan mitra bisnis mereka, Yosef Kabiljo, serta istri dan putrinya.
Ini karena rumah mereka dihancurkan selama serangan bom Nazi.
Ketika petugas Gestapo datang ke rumah Hardaga untuk memeriksa dokumen, Yosef dan keluarganya bersembunyi di belakang lemari pakaian.
Untungnya, pasukan Nazi itu tidak menemukan mereka.
Disebutkan keluarga Kabiljo tinggal di rumah Mustafa sampai mereka dapat pindah ke Mostar, kota Bosnia yang berada di bawah kekuasaan Italia.
Sayangnya, Yosef harus tetap tinggal dan melikuidasi bisnisnya dan dia akhirnya ditangkap dan dipenjara serta dipaksa menjadi pekerja paksa.
Ketika Zejneba Hardaga menemukan tempat dia bekerja, dia pergi ke sana dan membawakannya makanan.
Yosef akhirnya berhasil melarikan diri dan dia kembali ke tempat persembunyiannya di rumah Hardaga.
Tapi Nazi pun akhirnya mengetahui bahwa keluarga Hardaga membantu orang Yahudi.
Mereka lalu mengeksekusi Ahmed Sadik, seorang anggota keluarga yang membantu memalsukan dokumen dengan nama Kristen untuk keluarga Yahudi seperti Kabiljos.
Beruntungnya, sebelum kejadian mengerikan itu, keluarga Kabiljo diselamatkan dan dibawa ke Yerusalem.
Pada tahun 1992, perang di Yugoslavia dimulai dan Bosnia menjadi pusatnya. Pasukan Serbia mengepung Sarajevo.
Orang-orang sekarat di jalanan, rumah dibakar, dan penembak jitu menargetkan orang-orang yang meninggalkan rumah mereka.
Keluarga Hardaga bersembunyi di ruang bawah tanah mereka.
Mereka kehilangan semua harapan bahwa mereka akan bertahan sebelum menerima pesan dari seorang jurnalis Israel yang meliput perang.
Kondisi itu membuat keluarga Kabiljo di Yerusalem sedih. Mereka tidak tahu apakah teman dan penyelamat mereka masih hidup di Sarajevo.
Lantas mereka menghubungi seorang jurnalis Israel yang meliput perang.
Wartawan menyampaikan pesan kepada masyarakat setempat bahwa keluarga Kabiljo sedang mencari Zejneba Hardaga.
Pesan lain dikirim ke Yerusalem bahwa Zejneba, yang saat itu berusia 76 tahun, dan putri bungsunya Sara, masih berada di Sarajevo.
Setelah Kabiljo mengetahui bahwa Zejneba masih hidup, mereka menghubungi petugas untuk mengatur penyelamatan.
Kabiljo berhasil membawa kasus ini sampai ke Yitzhak Rabin, Perdana Menteri Israel.
Hingga akhirnya Zejneba dan putrinya diselamatkan dari kekerasan, dan diundang untuk berlindung di Yerusalem.